Wednesday 12 March 2008

ARYA NARAPATI


Keanehan mulai terjadi. Ada sesuatu dalam diri mereka. Dimas, Raji dan Pafi mulai mengalami pengalaman-pengalaman aneh yang tidak mereka mengerti. Hanya pak Narso yang bisa membimbing mereka untuk menguak semua hal terbaik yang mereka miliki.
Tapi keanehan tidak berhenti hanya disitu. Sebuah pintu gaib tiba-tiba terbuka dan menunjukan mereka dunia yang belum pernah dilihat oleh siapapun. Dunia yang hanya ada 15.000 tahun yang lalu saat lembah sunda adalah sebuah daratan.
Dimas, Raji dan Pafi terbawa dalam petualangan sebuah kerajaan besar Narapati yang sedang dilanda perang. Dravida dan Asvin telah memulai perang dengan sangat mengerikan. Narapati harus menghindari perang itu. Tetapi takdir berbicara berbeda. Perang yang berhasil dihindari oleh Narapati tidak mengubah sejarah bahwa seluruh lembah sunda akan tetap tenggelam. Narapati harus mencari cara untuk menyelamatkan seluruh bangsanya.
Hanya Dimas yang bisa melakukannya, karena dia adalah sang terpilih.

Gambar ini dipinjam dari sebuah situs mengenai Atlantis

Sunday 9 March 2008

BAGIAN 14 - KRAKATAU

Gulungan awan hitam terus membumbung ke langit tiada henti dari puncak gunung yang menyembul dari dasar laut. Sudah tiga bulan Krakatau melontarkan batu-batu apung ke udara dan debu-debu vulkanik yang memenuhi seluruh lautan yang mengelilinginya. Gemuruhnya yang menggetarkan daratan dan lautan memberikan peringatan kepada siapapun untuk tidak mendekat. Kegelapan total terus menerus melanda Krakatau yang sedang bersiap melepaskan ledakannya yang akan dikenal dan dicatat oleh sejarah. Desiran uap yang terasa panas membelai lereng terjal dan meninggalkan jejak hitam arang diantara tonggak-tonggak pohon yang sudah tidak berdaun lagi. Deburan lahar pijar yang merah menyala terus keluar dari ujung Krakatau. Meleleh mengejar ombak laut yang menerjang deras di bibir lereng. Panasnya meleburkan air laut menjadi uap-uap ke udara menciptakan kabut-kabut mistik yang begitu kuat.

Jutaan burung laut bergerombol di angkasa bergerak ke timur mencoba menjauhi kegelisahan sang Krakatau yang beberapa hari ini meresahkan mereka. Awan abu masih terus membumbung tinggi dan menyebar bagaikan jamur memberikan kegelapan pada sebagian permukaan bumi. Angin terasa menghentikan tiupannya dan seakan semua badai bergerak berbalik menjauhi puncak Krakatau. Pertanda ini begitu dikenal oleh Narapati. Semua sudah mengira akan ada perang yang sangat dahsyat melanda dunia Narapati. Perang dunia yang bagi dunia manusia hanya dapat dilihat dalam bentuk ledakan dahsyat Krakatau

Dalam dunia Narapati, gunung Krakatau tidaklah dikelilingi laut seperti dunia manusia tetapi merupakan sebuah lembah, tempat dulu dimana Krakatau purba telah meluluh lantakan dunia Narapati. Kalderanya menganga di antara Jawa dan Sumatra menjadi saksi kedahsyatan alam. Narapati, manusia pemimpin yang pertama berjalan dipermukaan bumi, yang menjadi ibu dari semua peradaban manusia harus menyerah oleh keperkasaan alam. Kehancuran yang diakibatkan Krakatau purba ribuan tahun lalu telah memaksa bangsa Narapati berpindah ke dunia tengah, dunia yang tidak sama dengan dunia manusia. Dunia yang berada di antara perbatasan yang nyata dan gaib.

Pada bagian timur lembah Krakatau ratusan ribu tentara telah saling berhadapan. Hamparan lapangan datar pasir yang terleburkan oleh sapuan angin. Langit pagi berubah menjadi jingga kemerahan oleh pulasan cahaya mentari yang terhalang oleh kabut di bawah payung abu Krakatau. Perlahan Gema suara teriakan dan dengusan terasa menjalar menggetarkan seluruh lembah. Pertarungan abadi hitam dan putih akan segera dimulai demi menjadi yang menentukan nasib yang lain. Menuliskan kembali nasib dunia di atas buku kehidupan. Sehingga perang ini begitu penting bagi siapapun baik dipihak hitam maupun putih.

Perebutan buku kehidupan menjadi inti perang ini. Ribuan tahun sudah BUKU buku kehidupan ditanam diperut Krakatau dan dijaga ketat oleh Narapati. Ramalan mengatakan Cakra Api akan dilontarkan dari busurnya dan sang Narayana akan lahir menjadi penjaga berikutnya. Setiap bangsa ingin menguasai buku kehidupan, karena siapapun yang menguasai buku kehidupan maka dialah yang menentukan nasib dan masa depan. Benar dan Salah hanyalah ditentukan oleh siapa yang paling berkuasa atas dunia dan siapa yang punya kekuatan menentukan nasib yang lain.

Langit yang masih muda tampak kelelahan oleh beban berat gumpalan debu angkasa. Sinarnya tak lagi jingga tetapi telah menjadi begitu merah. Tidak ada satupun yang bergerak, semua tentara serentak diam tak bergerak, bahkan seperti menahan nafas mereka. Hening seketika tercipta saat Krakatau tiba-tiba saja berhenti bergetar. Suasana yang tiba-tiba berubah menjadi sunyi setelah berminggu-minggu menggelegar gelisah mengingatkan semua yang terlibat dalam perang itu akan peristiwa yang sama ribuan tahun lalu. Peristiwa maha dahsyat saat Krakatau purba meluluh lantakan seluruh dunia Narapati. Membelah tanah jawa menjadi lautan dan mengalirkan semua air samudra ke seluruh lembah Sunda dan menenggelamkan kota-kota indah di negeri Narapati.

Isyarat diam Krakatau menjadi pertanda yang sudah dimengerti oleh kedua belah pasukan yang sedang siap bertempur. Pasukan Narapati berbaris membentuk benteng berlapis-lapis menghalangi jalan menuju Krakatau. Barisan tentara dengan Jubah serba putih, dengan penutup kepala yang terbuat dari logam keperakan dengan bentuk sayap pada bagian kuping kiri dan kanan mencuat ke atas, berdiri tegak memegang tombak keris berkelok tujuh, pasukan yang lain memegang pedang berkepala Garuda pada tangan kanannya. Ketegangan tampak di wajah-wajah mereka yang sangat mengerti bahwa hari ini adalah perang penentuan nasib bangsa mereka.

Di bagian paling depan dengan pakaian paling megah berwarna putih dengan jubah hijau daun, duduk di atas Narasimha seekor Lodaya putih seukuran kuda besar. Wibawanya terasa sekali dalam sorotan matanya yang teduh. Di dampingi enam orang dengan tunggangan yang sama dengan jubah berwarna merah darah. Matanya memandang tajam ke arah barisan pasukan bangsa Amukhsara yang sudah bersiap-siap menyerang.Telinganya mendengarkan dengan cermat, memilah-milah suara-suara halus dari getaran-getaran vulkanis yang dirasakan di seluruh lembah. Menantikan saat yang tepat memberikan perintah dan menunggu lawan bergerak.

Kenangan dengan ketakutan yang teramat dahsyat itu tak menyurutkan semua penjaga-penjaganya yang terus menjaga amat ketat, di darat maupun di udara. Para Garuda Kencana dengan sayap mengembang berjaga mengelilingi Krakatau bersama masing-masing seorang penunggang Narapati. Matanya liar mengawasi setiap sudut Krakatau dari udara untuk mencegah kemungkinan penyusup musuh masuk melalui udara sambil mengeluarkan suara lengkingan panjang. Sesekali begerak menembus barisan awan yang mengambang membentuk cincin di atas kawah Krakatau, kemudian menukik kembali ke lereng yang terjal.

Setiap Garuda Kencana ditunggangi oleh seorang Narapati yang mengenakan penutup kepala yang menutupi seluruh wajah kecuali bagian mata. Setiap penunggang Narapati sudah sangat terikat jiwanya dengan Garuda Kencana yang ditungganinya. Setiap penunggang Narapati memiliki kemampuan untuk membuat perisai gaib yang mampu melindungi keduanya dari serangan-serangan. Disekeliling badannya akan terlihat bayangan seperti air seperti sebuah perisai berbentuk bulat.

Pasukan Narasimha, bangsa Lodaya putih dengan ukuran sebesar seekor kuda jantan. Pasukan Narasimha dengan pelana kulit berbaris sejajar dengan pasukan Narapati yang berdiri tegak menggenggam tombak dan pedang. Bersama diantara mereka juga berdiri tentara gaib pengawal kerajaan laut selatan, para Sarwajala. Tubuh bersisik hijau berbalutkan kain hijau daun seperti seorang biksu. Urat darah berwarna biru tua terlihat membentuk guratan-guratan di wajah dan telinga lancip menjulang ke atas hampir sama tinggi dengan ubun-ubun kepala yang tanpa rambut.

Sarwajala sangat ahli dalam menyamar dan melakukan serangan mendadak. Hampir tak ada yang mampu menyadari kedatangan Sarwajala jika dia sudah berkehendak untuk tidak diketahui oleh siapapun. Hanya bangsa Sethi saja yang mampu mengalahkan penyamarannya. Semua wajah itu begitu siap dengan menggenggam tombak hitam. Di bagian paling belakang berbaris ribuan pemanah Narapati dengan ribuan anak cakra meletupkan bunga api.

Sementara di bagian depan jauh di utara pasukan Narapati, ratusan ribu bangsa Amukhsara sedang bergerak perlahan menuju lembah timur Krakatau. Bangsa campuran antara manusia dengan mahluk kegelapan. Amukhsara memiliki kulit berwarna hitam dan bersisik seperti kadal. Pasukan gendrawa berbaris di belakang. Badan setinggi pohon kelapa dengan bulu hitam disekujur tubuhnya tampak jelas. Bentuk wajah yang tidak beraturan dan matanya yang merah menambah keseraman 4 taring yang keluar dari mulutnya.

Di udara yang gelap melayang-layang naga-naga bersayap Jalatunda dengan warna kulit hitam keperakan mengepakan sayapnya dan sesekali mengeluarkan suara lengkingan yang amat merindingkan bulu kuduk. Diantara para gendrawa berbaris mahluk campuran berbadan manusia, berkepala kerbau dengan tangan seperti cakar Lodaya, Mahesa Sora. Ekor panjang melengkung tinggi dengan bentuk gerigi tajam pada bagian ujungnya. Mulutnya terus mengeluarkan lenguhan keras disertai dengan uap keluar dari hidungnya. Keberingasannya sesekali diluapkan dengan saling mengintimidasi satu sama lain.

Kedua pasukan telah saling berhadapan, siap dengan semua senjatanya masing-masing. Semuanya diam tak bergerak seakan sedang menunggu bunyi tanda perang dimulai. Krakatau terdengar gemuruh seakan tidak kuasa lagi menahan beban yang ditanggungnya. Beban besar bernama buku kehidupan yang sebentar lagi akan dikeluarkannya. Masanya menjaga buku kehidupan telah akan berakhir, setelah dahulu dia menyanggupi untuk menyimpannya dalam-dalam di perutnya, kini buku tersebut akan dikembalikannya kepada sang penjaga yang lain. Buku itulah yang sekarang akan diperebutkan oleh kedua pasukan itu. Buku yang bercerita tentang nasib semua bangsa, semua mahluk, dimana pemegangnya akan memiliki kemampuan untuk menuliskan kembali nasib semua mahluk yang berdiam di atas lembah sunda. Dunia Manusia, dunia Narapati, dunia mahluk gaib akan berada di dalam buku kehidupan.

Tiba-tiba semua berhenti, seakan waktu tidak bergerak, seluruh angin berhenti tak bersuara, tak ada nafas……….

DHUAAAAAAAAAAAARRRRRRRRRRRRRR…….

Suara ledakan sangat dahsyat menggelegar membelah seluruh dunia. Jutaan batu api dilontarkan dari kawah Krakatau, abu kawah membubung tinggi membentuk gumpalan-gumpalan yang terus melebar. Seketika bumi gelap seperti malam, hanya bunga api yang terus terpancar dari mulut Krakatau. Sementara kedua pasukan tetap diam seakan sedang menunggu tanda yang lain. Keduanya seakan tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi diKrakatau, karena pengaruh yang sesungguhnya terjadi di dunia manusia.

Gelombang angin dingin mendera, seketika butiran air padat turun menutupi seluruh lembah Krakatau, selimut putih menutupi seluruh permukaan lembah Krakatau. Di kawah Krakatau yang telah kelelahan berhari-hari meletupkan semua bebannya, samar-samar muncul sinar putih membubung tinggi keluar. Diantara barisan Pasukan Amukhsara dan sekutunya muncul sesosok bayangan berjubah hitam, tangannya mengacung ke atas seraya mengeluarkan suara geram yang menggema ke seluruh lembah, dan seketika secara serentak semua pasukan bergerak menyerang pasukan Narapati yang sudah siap menyambut musuh.

Pasukan Amukhsara dengan serempak melontarkan batu-batu api ke arah pasukan Narapati. Bunyi berdesing batu-batu membara disertai api yang berkobar melayang di angkasa. Sementara pasukan Amukhsara terus bergerak maju makin mendekati pasukan Narapati. Dari barisan pasukan Narapati terdengar suara menggema;

“Vadhra ……..”

Ribuan anak panah terlontar ke udara menyongsong ribuan batu api yang sedang melayang, ketika saling berbenturan di udara dentuman-dentuman keras di udara seperti kembang api dan seketika luruh jatuh ke tanah. Ada sebagian batu api maupun anak panah yang lolos melesat menghantam kedua pasukan. Perisai-perisai pasukan Narapati rupanya bukan tandingan kekuatan batu api yang meluncur deras bersama gravitasi. Ratusan pasukan Narapati bergelimpangan jatuh. Hal serupa terjadi dengan pasukan Amukhsara, anak panah yang melesat menembus barisan dan menjatuhkan banyak korban.

“SAGE…….”

“NORANH……..”

Kedua pasukan berlari saling menghampiri dan akhirnya saling bertemu dan terjadilah pertempuran yang sangat hebat di lembah Krakatau. Naga-naga bersayap Jalatunda meluncur deras ke arah kawah Krakatau, dihadang oleh sepasukan Garuda kencana. Keduanya saling beradu di udara dan bergumul saling mematuk dan menggigit. Darah hitam naga dan darah biru Garuda bercipratan mengenai pasukan-pasukan dibawahnya. Darah yang mengandung racun ganas itu meresap ke dalam kulit yang terkena dan menjalar cepat ke seluruh tubuh kemudian menghentikan jantung. Garuda-Garuda dan Naga-naga yang terluka menukik jatuh berdebum menghantam kerumunan pasukan yang sedang bertempur.

Perang terus berkecamuk, awan hitam yang bercampur abu gunung seketika memerah dan terang benderang. Laksana sebuah arang yang terbakar menggantung di atas lembah, buku kehidupan mengambang dibawahnya. Dari arah pertempuran Garuda kencana dengan naga-naga bersayap, meluncur seekor Garuda kencana mengejar ke arah buku kehidupan, diikuti oleh seekor naga bersayap. Keduanya berusaha meraih buku kehidupan tetapi sebelum mencapainya tiba-tiba saja 2 larik sinar kemerahan melewat dari arah lembah menghantam keduanya. Kedua mahluk bersayap itu terpental bersama penunggangnya, sebelum jatuh kaki Garuda kencana sempat mencengkram buku kehidupan dan meluncur jatuh berdebam ke lantai lembah menghantam pasukan yang sedang bertempur.

Buku kehidupan terlempar dan menghantam kepala seorang prajurit Narapati dan jatuh ke tanah bersamaan dengan jatuh dirinya sendiri, buku kehidupan ditangkap hingga terbuka lembarannya.

Dan…. “SEBUTKAN NAMAMU DAN TENTUKAN NASIB APA YANG INGIN ENGKAU TULISKAN PADAKU”

sebuah suara keluar dari buku kehidupan menggema mengalahkan bunyi apapun yang paling keras. Sang prajurit Narapati terhentak kaget, diikuti berhentinya waktu sehingga semua pasukan yang sedang berperang seakan seperti patung, kecuali satu prajurit Narapati yang sedang memegang buku kehidupan. Sang prajurit Narapati, begitu kaget dan gugup.

”A.a..a…na..na.maku…Di..Dimas….” dalam gugupnya dimas memandang sekelilingnya yang diam tak bergerak.

“Apa…yang terjadi ?” Dimas tidak mengerti tiba-tiba dirinya berada di tengah-tengah sebuah pertempuran.

“Di setiap penulisan kembali buku kehidupan, waktu akan berhenti sampai selesainya sebuah nasib dituliskan, tentukan nasib apa yang ingin engkau tuliskan padaku”. suara dari buku kehidupan kembali bertanya.

Dalam kepanikan, ketakutan dan kegugupannya, otaknya tak lagi sanggup bicara melalui mulutnya. Apa yang terlintas dalam gemetar tubuhnya yang menggigil saja yang mampu terucap.

“Aaa…ku ingin Amukhsara dikalahkan dan Narapati menang.” Katanya meluncur begitu saja dari mulutnya. Selesai Dimas mengucapkan nasib yang diinginkannya, buku kehidupan berubah menjadi selarik cahaya putih, menembus kepala Dimas. Dimas mengejang keras dengan bola mata nyaris terbalik. Seluruh warna kulit kepala dan wajahnya memutih keperakan. Suara erangan kesakitan tak terbayangkan oleh siapapun yang mendengarnya.

"Hei Dimas, bangun....bangun......" Raji menguncang-guncang badan Dimas yang bersimbah keringat. Mukanya pucat pasi. Matanya merah. Nafasnya tersengal-sengal. "Kau mimpi lagi." Wajah Dimas seperti orang mau mati. Raji sudah duduk di samping tempat tidurnya.
“Ah…ah…”Dimas berusaha mengumpulkan kembali ingatannya. Matanya terasa sakit sekali. Seolah semua mimpinya tadi begitu nyata.
“Buku kehidupan…ah..ah..” Dimas masih terengah-engah memegang kalung kain hitam di lehernya.
“Bersandarlah dulu, aku ambilkan minum.” Raji mengambil cangkir kaleng berisi air putih di atas meja. Dimas meraih cangkir yang disodorkan Raji. Matanya masih nanar tidak karuan. Raji hanya duduk diam membiarkan sahabatnya mengambil waktunya sendiri. Dia tahu Dimas pasti akan selalu bercerita kepadanya jika dia sudah siap. Seminggu ini Dimas terus-menerus dihantui oleh mimpi-mimpi buruk. Raji begitu kasihan melihat Dimas yang begitu kesakitan setiap bangun dari mimpinya. Apa yang sedang terjadi ? Keanehan baru mulai muncul lagi sejak kepulangan mereka dari dunia Narapati.




Bersambung…….
Buku 2 AMUKHSARA
Buku 3 BATU BINTANG SATUASRA
Buku 4 ANGKORWAT
Buku 5 SANG NARAYANA
Buku 6 PERTEMPURAN DUA KUIL
Buku 7 KAKAWIN PRALAYA

Monday 18 February 2008

BAGIAN 13 - PILAR KEMBAR

Beban terasa semakin berat. Satuasra terakhir di Rajatapura telah berhasil diambil. Dimas meletakannya bersama satuasra lainnya di dalam sebuah kantong kulit tempat air milik Raji. Batu satuasra begitu dingin walaupun memancarkan sinar putih keperakan. Dimas tidak bisa berlama-lama memegangnya. Kini gerbang terakhir menuju Cakravartin telah dibuka. Sebuah ruangan dengan altar bundar tepat berada di tengah ruangan. Sebuah pilar api berdiri di tengah altar hingga menembus langit-langit. Mungkin ini lah sumber lidah api yang selalu menyala terang di ujung Cakravartin. Dimas melangkah berhati-hati. Cahaya terang keemasan memancar dari pilar api ke seluruh ruangan. Sebuah lubang tak beraturan berjumlah Sembilan terdapat di sekeliling pilar api. Dimas mencoba mengingat kembali. Dengan hati-hati tangannya mengeluarkan satu per satu batu bintang satuasra kemudian diletakan ke dalam lubang-lubang yang memang khusus untuk satu buah satuasra. Setiap lubang memiliki ukuran yang berbeda. Berdasarkan urutan kemudian Dimas meletakannya. Setelah semua lengkap terpasang tiba-tiba pilar api yang semula kuning keemasan berubah menjadi putih keperakan. Sinarnya menembus kuat. Dimas tidak menyadari kalau yang telah dilakukannya membuat sebuah perisai gaib terbentuk seperti setengah bola menutupi seluruh kota Sunda Buana.

Hampir seluruh penduduk kota Sunda Buana tercengang melihat semua yang terjadi. Beberapa wahana terbang pavaratha, burung-burung yang melintas sempat menabrak perisai yang tidak kelihatan itu. Siapapun dan apapun tidak bisa menembusnya.

Tetapi di dalam kuil, di hadapan Dimas muncul seorang wanita yang sudah dikenalnya, Ratu Kerajaan Selatan.

“Selamat datang Gusti Ratu”

“Kau telah mengerjakannya dengan baik Dimas. Kini saatnya mengundang teman-temanmu untuk kemari.” Ratu Kerajaan Selatan menunjuk sebuah dinding dengan lambang bulan sabit di atasnya. Sebuah pintu terbuka dan cahaya putih dari ruangan putih menyeruak ke dalam. Terlihat Pafi, Raji dan Gandrung berada di dalamnya. Agak terkejut saat sebuah pintu terbuka. Tetapi saat melihat Dimas berada di dalam ruangan di baliknya, mereka tersenyum gembira. Ketiganya melangkah masuk menghampiri Dimas.

“Kau berhasil, Dimas !” kata Gandrung

“Tidak kita yang berhasil. Tanpa kepercayaan tidak akan ada jalan yang terbuka”

Ratu Kerajaan Selatan tersenyum. “Sekarang bukalah naskah Sinar Avedi itu lagi. Lihat apa yang dikatakannya”

Pafi menyerahkan naskah itu kepada Dimas dan langsung dibukanya. Semua gambar telah berubah. Tidak ada lagi segitiga dan bintang-bintang. Semuanya kini berubah menjadi gambar dua buah patung kembar yang saling berhadapan. Masing-masing menyangga sebuah mangkuk api yang menyala-nyala dengan warna api yang berbeda. Yang kiri berwarna hitam dan yang kanan berwarna putih keperakan. Sebuah bola yang terbentuk dari dua buah lidah api berputar-putar di antaranya. Saling berkejaran mengikuti ekor yang lain. Hitam dan Putih. Diantara gambar dua patung itu muncul sebuah gerbang seperti lubang cacing yang dikelilingi oleh Sembilan bintang yang terus berputar-putar.

“Kau tahu mengapa engkau yang terpilih Dimas ?” Dimas menggelengkan kepalanya.

“Karena tidak ada yang sanggup menanggung beban yang dibawa oleh batu bintang satuasra. Bagimu batu itu hanya seberat batu biasa, tetapi bagi yang lain batu itu seperti terpaku dengan bumi. Karena itu aku pun tidak sanggup memindahkannya.”

“Apa yang harus kita lakukan sekarang dengan batu-batu satuasra ini ?“ tanya Dimas.

“Tugas kalian sekarang adalah menyampaikan ramalan naskah Sinar Avedi yang kau baca di graha pustaka kepada Prabu Narayala.” Ratu Kerajaan Selatan tersenyum dan kemudian melirik kepada Gandrung. Ada sesuatu mengenai Gandrung. Ini sudah yang kedua sejak pertemuannya dengan Ratu Kerajaan Selatan. Dimas teringat kembali kalimat pendek yang pernah dibacanya dan kemudian disebutkan kembali oleh Ratu Kerajaan Selatan waktu di gua Ngejungan. Dia kini tahu bahwa naskah yang dibacanya adalah sebuah ramalan.

“Baiklah Gusti Ratu”

Kemudian tangan Ratu Kerajaan Selatan menunjuk sebuah dinding dengan lambang segitiga dengan bintang di atasnya. Sebuah pintu terbuka. Dimas menoleh sebentar kepada Ratu Kerajaan Selatan. Anggukan sang Ratu mengisyaratkan Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung memasuki ruangan itu. Sebuah pertemuan di balairung sedang berlangsung. Semua yang hadir berhenti, pintu utama terbuka. Siapapun yang berada di balairung melihat, kalau pintu yang terbuka bukanlah pintu utama. Semua mata terpaku pada ruangan di baliknya yang terang putih keperakan. Balairung menjadi senyap. Semua orang yang hadir tiba-tiba lenyap dari ruangan. Tinggal Prabu Narayala dan Patih Naraphala saja.

“Maafkan atas kedatangan kami yang kurang sopan ini Gusti Prabu Narayala.” Kata Dimas. Raji, Pafi dan Gandrung berdiri sejajar di sampingnya.

“Apa yang kau inginkan nak” tanya Prabu Narayala. Dimas maju lebih dekat kepada Prabu Narayala dan Patih Naraphala yang sedang duduk di singgasananya.

“Apakah saya boleh mengatakan sesuatu Gusti Prabu ?” Dimas mengajukan permintaan. Semua mata menoleh memandang kepada Dimas yang sudah berdiri tegak. Prabu Narayala tersenyum lembut, tangannya mempersilahkan Dimas untuk maju ke depan.

“Siapa kau nak, jelaskanlah” Tanya Prabu Narayala.

“Nama saya Dimas, saya datang bersama dengan kedua sahabat saya Raji dan Pafi. Dan ini adalah Gandrung putra dari Gusti Patih Narajalaseva. Saya hendak menyampaikan isi naskah Sinar Avedi yang telah saya baca.” Dimas berhenti sejenak. Semua orang seperti menahan nafas menanti kata-kata Dimas selanjutnya.

“Naskah Bangsa Sinar Avedi Hoa-Binh maksudmu?” kata Patih Naraphala

“Benar Gusti Patih.” Jawab Dimas.

“Benar kau bisa membacanya nak ?” Tanya Prabu Narayala kepada Dimas.

“Iya Gusti Prabu, isinya adalah sebuah ramalan yang penting untuk diketahui oleh Gusti berdua.” Kata Dimas singkat.

“Kalau benar begitu, kau pasti sudah tahu kalau naskah Bangsa Sinar Avedi hanya akan menunjukan apa yang ingin diketahui atau berada dalam pikiran pembacanya. Kalau begitu aku ingin kau membaca naskah ini.” Patih Naraphala menyerahkan sebuah lembaran naskah yang tergulung rapi. Dimas menerima naskah itu dan membukanya. Huruf-huruf bahasa Bangsa Sinar Avedi yang bergerak liar ke sana kemari bermunculan di atas lembaran yang terbuka. Prabu Narayala dan Patih Naraphala memperhatikan Dimas. Semua yang hadir tahu kalau naskah Bangsa Sinar Avedi tidak bisa dibaca karena tulisannya selalu bergerak dan dilindungi oleh sihir-sihir Bangsa Sinar Avedi.

“Nak Dimas, apakah kau sudah tahu bahwa naskah Bangsa Sinar Avedi hanya akan menunjukan hal yang ingin kita benar-benar ketahui atau apa yang ada dalam pikiran kita saat memilihnya.” Prabu Narayala bertanya perlahan. Seperti dia tahu kalau Dimas mulai merasa cemas akan arti kalimat tersebut berpengaruh tidak baik pada dirinya.

“Iya, saya sudah mengetahuinya dari Gandrung, Gusti Prabu” Jawab Dimas pelan. Dimas kelihatan tenang. Dengan pelan dia mengucapkan mantra pembuka naskah.

“Ingdorthium thor savantharau anglashiatvan” kata Dimas pelan nyaris tidak terdengar oleh siapapun. Seluruh tulisan itu bergerak perlahan membentuk kalimat.

“Saat sang kembar di puncaknya, kembaran yang lain datang.
Yang satu membawa kebaikan, yang lain membawa bencana.
Jiwa yang jahat tercabik tujuh, hanya dengan menyatukan bintangnya sang jiwa kembali utuh.
Tetapi yang telah hitam tetap menjadi hitam.
Kegelapan hanya akan tenang bersama terang.”

Dimas membacakan isi naskah yang sedang dipegangnya.

“Apakah ini berarti ramalan itu benar Kakang Narayala ?” Patih Naraphala kelihatan tegang sekali.

“Tenang Adik Naraphala, aku yakin Dimas mengatakan yang sebenarnya” Prabu Narayala menenangkan Patih Naraphala.

“Nak Dimas, selama ini kami menunggu seseorang yang bisa membaca sebuah ramalan dalam bahasa Bangsa Sinar Avedi. Tidak seorang pun yang bahkan bisa membaca dalam bahasa Bangsa Sinar Avedi, dapat membuka tabir ramalan itu. Kecuali orang yang telah diramalkan oleh Sinar Avedi Agung Au Co sendiri. Artinya, bahwa kaulah yang selama ini kami tunggu. Dahulu seorang Sinar Avedi Agung Hoa-Binh sebelum meninggalkan kota Sunda Buana mengatakan bahwa akan datang seseorang dari masa setelah peradaban ketiga yang mampu membaca dan bicara bahasa bangsa Sinar Avedi tanpa pernah belajar. Dia akan membawa pesan yang akan menentukan nasib Narapati. Tetapi kami tidak pernah berpikir kalau seseorang yang dimaksud adalah seorang anak kecil. Dan Kalimat dalam naskah Bangsa Sinar Avedi itu adalah ramalan yang sudah kami tunggu sejak ayahku masih memerintah. Dan sekarang ramalan itu telah datang, tinggal berusaha memahami artinya.” Prabu Narayala menatap tajam.

Tiba-tiba sebuah suara lembut terdengar menggema. “Apa kabar Narayala, Naraphala ?” Seorang perempuan cantik berpakaian hijau yang sudah dikenal Dimas tiba-tiba sudah berada di belakangnya. Prabu Narayala dan Patih Naraphala menyadari siapa yang datang segera bangkit dan memberikan salam.

“Aku baik-baik saja, Selamat datang di Narapati Gusti Ratu Selatan” Jawab Prabu Narayala. Patih Naraphala tersenyum.

“Aku datang hanya untuk memastikan semuanya dan sekaligus memberikan jawaban dari semua teka-teki ini. Pasti banyak hal yang terjadi di benakmu sekarang Naraphala”

“Masa depan adalah misteri Naraphala, tidak mungkin ada yang bisa menerkanya. Begitu banyak jalan yang harus dipilih dari setiap nasib. Bahkan kami para pendahulu Bangsa Sinar Avedi dengan pikiran sebening intan masih samar melihatnya. Perjalanan harus dijalani dan diterka sendiri pada setiap persimpangan. Masa depan akan datang dengan sendirinya kepadamu. Tetapi dia tidak akan lebih dari sekedipan mata, karena setelah itu dia akan menjadi masa lalu.” Kata Ratu Kerajaan Selatan sambil melirik Dimas.

“Seseorang dari masa setelah tiga peradaban telah hadir di hadapanmu. Sekarang tanyakanlah kepadanya apa yang akan terjadi di masa depan.” Ratu Kerajaan Selatan menoleh kepada Dimas. Prabu Narayala mengalihkan pandangannya kepada Dimas.

“Apakah kau tahu apa yang akan terjadi kepada Narapati ?” tanya Prabu Narayala.

“Narapati akan tenggelam ke dasar lautan.” Jawab Dimas singkat.

“Ya kami sudah mengetahuinya. Apa ada yang bisa kita untuk lakukan untuk mencegahnya.” Tanya Patih Naraphala.

“Tidak ada, masa depan sudah terjadi. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana menyelamatkan sebanyak mungkin penduduk Narapati dari bencana ini.” Jawab Dimas. Ratu Kerajaan Selatan tersenyum.

“Kami sudah membuat sepuluh perahu kehidupan sesuai petunjuk Sinar Avedi Agung Au Co. Perahu itu akan membawa penduduk, hewan dan benih tanaman ke tempat yang lebih tinggi”

“Tidak cukup. Kemusnahan Narapati bukan datang dari banjir besar yang menenggelamkannya. Itu Cuma sebagian kecil saja. Bencana sesungguhnya datang dari letusan gunung-gunung sepanjang swarna hingga jawa. Batuwara akan menjadi pemusnah paling besar. Narapati akan diliputi kegelapan selama bertahun-tahun. Menyebabkan semua yang hidup di permukaan bumi membeku dan akhirnya membunuh semua yang hidup.” Prabu Narayala dan Patih Naraphala terkejut bukan main.

Tiba-tiba sebuah gerbang terbuka. Seorang wanita sangat cantik yang hanya mampu ditandingi oleh Ratu Kerajaan Selatan muncul dari balik gerbang itu.

“Apakabar Au Co?” Ratu Kerajaan Selatan menyapa yang baru saja hadir

“Kabarku baik Ratu, bagaimana denganmu sendiri ?” Sinar Avedi Agung Au Co balik bertanya.

“Aku juga baik. Seperti sejarah harus kita ulang Au Co. Sama seperti dulu dengan Sinar Avedi, kini Narapati harus mengalami nasib serupa. Menyingkir dari dunia manusia.”

“Benar Ratu, berkat bantuanmulah Sinar Avedi masih bisa hidup. Kini Narapati dalam posisi yang sama. Sinar Avedi tidak bisa membiarkan Narapati sendirian dalam kesulitan ini.”

“Narayala, Naraphala ada yang harus kalian tahu.Apa yang dikatakan oleh Dimas benar adanya. Aku memang menyuruhmu untuk membuat sembilan perahu kehidupan. Semua itu untuk membawa penduduk dari Sembilan kota Narapati menuju Sunda Buana. Perahu kehidupan hanya merupakan sarana untuk mencapai gerbang naga dan garuda. Hanya dengan memindahkan Narapati ke dunia tengah akan menyelamatkan banyak nyawa.”

Tiba-tiba saja Prabu Narayala, Patih Naraphala, Sinar Avedi Agung Au Co dan Ratu Kerajaan Selatan menghilang dari hadapan Dimas.

“Kemana mereka ?” tanya Raji

“Sepertinya ada hal yang sangat penting yang mereka bicarakan” Dimas mencoba menerkanya

“Kenapa kita tidak boleh mendengarnya ?” Gandrung agak kesal.

“Mungkin ini terlalu pribadi dan hanya mereka saja yang boleh tahu” kata Pafi.

“Lebih baik kita tunggu saja.” Kata Dimas

Tidak lama kemudian Sinar Avedi Agung Au Co dan Ratu Kerajaan Selatan muncul kembali bersama Prabu Narayala dan Patih Naraphala. Prabu Narayala menghampiri Dimas.

“Terima kasih telah datang. Sekarang adalah bagian kami melanjutkan apa yang telah kau mulai Dimas.” Prabu Narayala berlutut memberikan sembah di hadapan Dimas diikuti oleh Patih Naraphala. Situasi itu membuat Dimas menjadi kikuk. Seorang raja besar dan patihnya memberikan sembah kepadanya adalah hal yang tidak pernah berada dalam pikirannya. Namu ditengah kekikukan itu sesaat kemudian ruangan menjadi gelap. Prabu Narayala dan Patih Naraphala menghilang dari hadapannya dan mereka sudah kembali berada di dalam ruangan pilar api kuil Cakravartin.

“Saatnya kalian untuk kembali. Perjalanan kalian bertiga di dunia ini sudah harus selesai sampai disini. Masih ada tugas besar yang harus kalian jalani di masa kalian nanti. Kali ini Narapati harus mengusahakan nasibnya sendiri.” Ratu Kerajaan Selatan menunjuk sebuah dinding bergambar bulat separuh. Sebuah pintu terbuka di bawahnya. Gandrung masih tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Ratu Kerajaan Selatan.

“Kembali ? kita kembali ke rumah kan ?” tanya Gandrung

“Tidak Gandrung, kami harus kembali ke tempat kami berasal. Dunia kami di masa setelah tiga peradaban.” Dimas begitu berat menyampaikannya. Hal ini juga diluar dugaan mereka.

“Kalian akan meninggalkan aku ?” Mata Gandrung mulai berkaca-kaca. Hatinya tak percaya kalau semuanya harus berakhir hari ini. Dia akan kehilangan sahabat-sahabat terbaiknya yang selalu memberinya ketulusan.

“Kau masih ada tugas yang sangat besar Gandrung. Kau harus melanjutkan menjadi pembaca petunjuk dalam naskah itu. Kau harus menemukan tempat terbaik bagi Narapati di dunia tengah nanti.” Kata Ratu Kerajaan Selatan. Gandrung tidak bisa berkata-kata lagi. Air matanya mengalir dengan deras. Perpisahan akhirnya harus terjadi. Gandrung begitu sedih dengan perpisahan itu. Bergantian Gandrung memeluk ketiga sahabatnya.

“Cincin kebenaran ini akan menjadi lambang persahabatan kita” Dimas mengepalkan tangannya menunjukan cincinnya ke arah Gandrung. Kemudian mereka merapatkan kepalan tangan mereka satu sama lain.

Dimas, Raji dan Pafi memberikan salam kepada Ratu Kerajaan Selatan dan Sinar Avedi Agung Au Co. Setelah itu mereka bertiga memasuki pintu yang telah dibuka. Dan tak lama kemudian muncul di dalam ruang belajar. Kembali muncul di ruang belajar asrama. Hari masih sore persis seperti saat ditinggalkan. Dimas, Raji dan Pafi tersenyum sumringah. Beberapa anak tidak menyadari kedatangan mereka sedang duduk mengerjakan pekerjaan rumah. Dengan mengendap-endap mereka berjalan keluar dari ruang belajar kembali ke dalam bangsal masing-masing.

BAGIAN 12 - SEMBILAN SATUASRA

Bulan separuh menggantung di angkasa Cakravartin. Barisan awan kelabu bercampur putih bergerak lambat tersapu angin. Menuju satu purnama tinggal sepekan lagi. Waktu yang tersisa terlalu sedikit untuk mengambil Sembilan satuasra di Sembilan kuil di Sembilan kota. Kota Rajatapura menjadi pusat perhatian. Kota terbesar kedua di Kerajaan Narapati itu porak-poranda diterjang ombak besar. Tidak ada laporan siapa yang bertanggung jawab atas kejadian itu. Tetapi kejadian itu membuka semua mata tentang apa yang bakal terjadi kalau banjir besar nanti datang.

Dimas, Raji dan Pafi sedang berkumpul di kamar Pafi. Mereka tidak sanggup lagi mendengar berita kehancuran kota Rajatapura. Seluruh perhatian dicurahkan untuk mencegah bencana yang lebih besar. Pencarian Sembilan satuasra dilanjutkan, pesan terakhir yang dikatakan Ratu Selatan menjadi acuan mereka bertindak.

“Aku merasa tidak enak sekali pada Gandrung.” Raji memulai pembicaraan. Dimas dan Pafi menyetujui apa yang dirasakan Raji. Gandrung selama ini begitu jujur kepada mereka. Menunjukan semua hal yang diketahuinya hanya untuk mendapatkan persahabatan dari mereka.

“Mungkinkah ini yang dimaksud Ratu Kerajaan Selatan ? Kita tidak menemukan jalan apapun untuk mendapatkan satuasra karena kita masih bermasalah dengan kepercayaan.” Kata Dimas

“Apakah sebaiknya kita memberitahunya mengenai kita ?” Gagasan Pafi sedikit membuat bingung Dimas. Ada alasan kenapa dia dulu menyarankan tidak menceritakan hal apapun tentang mereka. Tetapi kata-kata Ratu Kerajaan Selatan membuatnya menyadari bagaimana Gandrung begitu tulus bersahabat dengan mereka.

“Bagaimana cara kita memberitahunya ?” kata Dimas. “Kita bawa saja dia ke asrama” usul Raji. “Gila kau, bagaimana kita bisa menjelaskan keberadaannya kepada Nyai Janis.” Pafi menolak gagasan Raji.

“Mungkin kita bawa saja dia sampai ruangan pintu gaib saja. Dia kan tidak pernah tahu tempat itu ada.” Dimas memberikan usul

“Ya maksudku itu” Raji cengengesan.

“Kalau begitu, kita ajak dia besok. Aku juga sudah bosan harus menjaga kata-kataku agar tidak menimbulkan kecurigaan.” Pafi teringat kata-katanya yang terakhir yang membuat Gandrung mengernyitkan dahinya. Akhirnya semua setuju untuk memberitahunya besok. Tidak lagi diributkan siapa yang akan memberitahunya. Semua kembali ke kamar masing-masing dan menyerahkan sisanya kepada malam.

Pagi-pagi sekali Raji sudah bangun dan rapi. “Lengkap sekali kau sekarang, bawa apa saja ?” Dimas agak heran melihat Raji yang tidak seperti biasanya.

“Aku Cuma membawa bekal air dalam kantong ini saja.” Jawab Raji.

“Tumben kau bawa air, memangnya kau merasakan akan memerlukannya ?”

“Entahlah, hatiku saja mengatakan aku akan memerlukannya” Raji membetulkan letak kantong airnya.

Gandrung agak heran, kali ini mereka tidak berjalan ke tempat dimana ruang tukang mau tahu berada. Dirinya dibawa ke tempat yang jarang dilaluinya, benteng selatan. Mereka berjalan menuruni benteng. Di bawahnya membentang sawah yang sudah menguning dan siap panen kemudian masuk ke dalam gorong-gorong di bawahnya.

“Kemana sebenarnya tujuan kita ?” Gandrung merasa agak aneh dengan tujuan kali ini.

“Kita akan ke tempat yang belum pernah kau datangi sebelumnya. Tempat ini tidak sengaja kami temukan.” Jawab Dimas menenangkan Gandrung. Dimas berusaha mengingat letak dindingnya. Tangannya kemudian meraba-raba dinding di depannya. Sebuah gagang pintu tersentuh lalu diputar. Dinding yang semula hanyalah batu, kini membuka menjadi sebuah pintu. Sinar terang menyeruak keluar dari dalamnya. Gandrung masih terus memperhatikan. Tidak ada pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Dimas mengawali masuk ke dalam ruangan itu.

“Selamat datang di ruang keinginan” kata Dimas.

Gandrung melihat-lihat seluruh isi ruangan berbentuk bundar itu. Banyak pintu di dindingnya. Tangannya membuka sebuah pintu. Sebuah kamar yang amat dikenalnya berada di balik pintu itu.

“Ini kamarku ! hebat…hebat sekali. Ini penemuan yang paling hebat yang pernah aku lihat.” Gandrung senang sekali. Tapi dia belum tahu maksud sebenarnya. Dimas mulai merasa canggung untuk mengatakannya.

“Gandrung, ada yang ingin kami sampaikan kepadamu.” Gandrung berhenti, kemudian menatap Dimas.

“Kau ingat pesan terakhir yang diberikan oleh Ratu Kerajaan Selatan ?” Gandrung mengangguk. “Kepercayaan adalah jiwa persahabatan. Tidak ada jalan yang bisa ditemukan tanpa kepercayaan” katanya mengulangi kata-kata itu.

“Kami, eh….” Dimas ragu.

“Kami bukan berasal dari tempat ini !” Pafi langsung menyela. Gandrung masih tidak mengerti.

“Kami bukan berasal dari dunia ini” Dimas menjelaskan lebih gamblang. Gandrung mengernyitkan dahinya. “Maksud kalian bukan berasal dari dunia ini ?”

“Kami berasal dari waktu yang jauh di depan, kami berasal dari waktu kira-kira limabelas ribu tahun dari sekarang.” Kata Pafi. Gandrung makin tidak mengerti.

“Kami secara tidak sengaja menemukan gerbang untuk kembali ke masa lalu dan tiba di tempat ini. Pada masa kami seluruh Narapati sudah tenggelam dan hanya tertinggal beberapa daratan saja. Tetapi orang-orang di masa kami tidak mengetahui pernah berdirinya Narapati di lembah sunda ini. Maafkan kami baru memberitahumu sekarang, karena kami sendiri masih harus meyakinkan diri dengan apa yang sedang kami jalani. Kami khawatir keterbukaan kami akan membawa dampak yang tidak baik pada dunia ini.” Gandrung kini bengong setelah mendengar penjelasan Dimas. Baru masuk ke dalam otaknya apa yang dimaksudkan oleh Dimas.

“Seperti apakah dunia kalian ?” tanya Gandrung. Tidak ada nada marah dari suaranya. Dimas merasa senang sekali. Dengan semangat bergantian bersama Raji dan Pafi mereka menceritakan semua hal mengenai tempat tinggal di asrama dan hindia belanda. Mata Gandrung senang sekali mendengarkan cerita ketiga sahabatnya.

“Maafkan aku juga, aku belum pernah menceritakan bagaimana aku tahu rahasia-rahasia Sinar Avedi dan bisa menguasai bahasanya. Ibuku adalah seorang bangsa Sinar Avedi, dia jatuh cinta pada ayahku kemudian mereka menikah. Dari ibukulah aku tahu semuanya mengenai bangsa Sinar Avedi. Dan ibuku selalu tahu kemana aku pergi.” Pengakuan Gandrung cukup mengagetkan semuanya. Semua itu juga menjelaskan kenapa tidak pernah ada rasa khawatir dari kedua orang tua Gandrung kemanapun Gandrung pergi.

“Tapi kan bangsa Sinar Avedi tubuhnya bersinar, mengapa ibumu tidak ?” Pafi masih tidak percaya.

“Begitulah kalau seorang Sinar Avedi menikah dengan seorang manusia. Mereka adalah bangsa abadi. Setelah menikah ibuku kehilangan keabadiannya. Tapi dunia kalian hebat sekali, aku ingin sekali main ke sana” Perubahan topik pembicaraan yang ditakutkan Dimas akhirnya keluar juga dari mulut Gandrung.

“Jangan Gandrung, kita masih punya tugas untuk menyelamatkan Narapati. Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus menjalankan tugas ini hingga selesai.” Dimas mengingatkan Gandrung. Gandrung diam, seperti berusaha mencerna sesuatu. Tetapi jelas wajahnya amat kecewa.

“Kau benar, lebih baik sekarang kita berkonsentrasi mencari sembilan satuasra” Gandrung kembali memompa semangatnya. Dimas kemudian mengeluarkan naskah Sinar Avedi. Peta terakhir yang belum dilihatnya tergambar di atasnya. Sebuah gambar segitiga besar dengan lidah api dipuncaknya di kelilingi Sembilan segitiga lebih kecil. Setiap gambar segi tiga kecil ukurannya tidak sama ukurannya. Semuanya berputar lambat mengelilingi segitiga besar. Terdapat hanya sebuah garis tetap di ujung lidah api yang menghubungkan segitiga besar dengan segitiga kecil. Setiap saat salah satu segitiga kecil menyentuh garis tetap itu, segitiga besar mengeluarkan garis-garis rumit di tengahnya dan berkilau keemasan. Setiap segitiga kecil memberikan gambar rumit yang berbeda. Setiap sebuah gambar rumit muncul di tengah segitiga besar, sebuah bintang menyala di tengah-tengah garis rumit segitiga besar. Nyala bintang selalu berpindah-pindah susunannya mulai dari dasar hingga ke puncak kuil.

“Ini pasti Cakravartin Kota Sunda Buana. Lambang dari ibukota Narapati yang dikelilingi oleh Sembilan kota lainnya.” Dimas menunjuk segitiga besar. “Apakah kau pernah mendengar tentang legenda kuil ini Gandrung ?” Tanya Dimas.

Gandrung menggeleng “tidak pernah, ibuku saja tidak pernah mengetahuinya. Mungkin ini adalah sesuatu yang memang benar-benar sangat rahasia. Sehingga tidak sembarang Sinar Avedi bisa mengetahuinya” kata Gandrung.

“Sepertinya ini adalah jalur dari setiap kuil yang menyimpan satuasra. Lihat jalur ini begitu berbeda satu dengan yang lainnya” kata Pafi

“Bagaimana caranya mengingat jalur-jalur rumit ini, dia saja tidak berhenti bergerak.” Kata Raji

“Kita tinggalkan dulu mengenai jalur itu, sekarang kita harus menentukan kuil mana dulu yang akan kita datangi ?” kata Dimas

“Bagaimana kalau Rajatapura dulu ?” usul Gandrung. Pafi terus mengamai gerakan segitiga kecil yang mengelilingi segitiga besar.

“Tidak, gambar ini sudah memberikan kita petunjuk jelas mengenai semuanya. Kita harus mengambil satuasra dari kuil paling kecil. Lihat gambar segitiga paling kecil diantara yang Sembilan ini. Bintangnya selalu menyala paling bawah. Dan yang paling besar ini selalu paling atas dekat lidah api Cakravartin. Hal ini menandakan bahwa kuil ini memiliki tingkatan-tingkatan. Cakravartin adalah induk semua kuil dengan tingkatan paling tinggi. Karena itu dia akan selalu berada paling atas. Dan di bawahnya Rajatapura dan seterusnya. Kau masih ingat urutan gambar lokasi kuil mulai dari yang paling kecil pada gambar sebelumnya ?” Pafi mengandalkan ingatan Dimas yang kuat untuk menjawabnya.

“Ada di Andavantara, Nutana, Mandala Sura, Pagan, Kutai, Siam, Angkor, Viet, dan terakhir Rajatapura” jawab Dimas.

“Kalau begitu kita ke Andavantara sekarang, masalah peta urusan belakangan” celetuk Raji.

“Kita tidak bisa ke sana tanpa peta yang jelas Raji.” Pafi tetap tidak setuju.

“Lalu kapan kita akan berangkat ke sana. Tidak ada salahnya kita langsung kesana, siapa tahu justru jawabannya ada disana. Kecuali kau punya mantra untuk menghentikan kuil ini jalan-jalan ?” Raji tetap pada pendapatnya. Dimas paham sekali kalau keduanya sudah beradu pendapat tidak akan ada yang mengalah. Dimas harus mengambil langkah tengah untuk keduanya.

“Sudahlah, mungkin baiknya kita coba ke sana saja, tapi sebelum mencari kita harus memastikan peta itu bisa tetap dan tidak bergerak lagi.” Dimas memberikan jalan tengah.

“Aku setuju” sahut Gandrung.

“Kita akan ke sana dengan lubang cacing kan ?” Raji kelihatan bersemangat sekali.

“Buat apa kesana pakai lubang cacing, disini kan ada ruang keinginan. Kita tinggal menyebutkan keinginan kita saja kan ?” usul Gandrung.

“Gagasan hebat, kalau begitu tunggu apa lagi, ayo segera kita berangkat” Dimas segera menggulung naskah Sinar Avedi.

“Gandrung, kau yang membuka pintu. Karena kau yang paling tahu kota-kota ini.” Pinta Pafi. Gandrung mengangguk. Kemudian Gandrung membuka sebuah pintu. Sebuah ruangan putih mirip sekali ruang keinginan muncul dibalik pintu. Gandrung melangkah masuk ke dalam. Yang lain menyusul masuk.

“Apakah kita sudah berada di Andavantara ? Seperti ruangan ini mirip sekali dengan ruang keinginan di Sunda Buana.” Kata Raji.

“Bukan Cuma mirip, tapi ini memang ruang keinginan di Sunda Buana. Kita tidak pergi kemana-mana. Kita kembali lagi ke ruang keinginan.” Kata Pafi. Gandrung sedikit kebingungan.

“Bagaimana kau tahu, mungkin saja di Andavantara juga ada ruang keinginan.” Kata Raji.

“Tidak, menurut ibuku, hanya kota Sunda Buana yang dilengkapi oleh ruangan-ruangan gaib seperti ini. Para Sinar Avedi tidak mau pengetahuan mereka terlalu menyebar di sembarang tempat.” Kata Gandrung

“Apakah kau salah menyebutkan tujuanmu Gandrung ?” tanya Pafi

“Tidak, aku mengucapkannya dengan benar.” Kata Gandrung

“Dengan bahasa Sinar Avedi kan ?” kata Dimas. Gandrung mengangguk.

“Mungkin sebaiknya kau yang mencoba, Dimas” kata Pafi. Yang lain setuju. Dimas melangkah menuju sebuah pintu. Mengucapkan nama Andavantara dalam bahasa Sinar Avedi. Sebuah pintu sesaat kemudian terbuka. Sebuah ruangan berbentuk segi empat sangat remang dengan dua cahaya obor. Empat pintu terdapat di empat jurusan terbuka lebar.

“Aku rasa kita berada di tempat yang benar kali ini” kata Dimas.

“Cepat buka petanya” kata Pafi

Dimas membuka gulungan naskahnya. Di dalam gambar segitiga besar bersinar terang garis-garis rumit dan sebuah bintang. Gambar segitiga paling kecil berhenti di puncak segitiga besar dengan sebuah garis menyambung ke lidah api segitiga besar. Senyum lebar mengembang di wajah Dimas. Yang lain ikut gembira. Semua gambar menjadi tetap dan tidak berubah-ubah lagi. Di bawahnya muncul sebuah segi empat dengan garis-garis rumit pula. Ditengahnya terdapat bintang yang bersinar terang.

“Sepertinya gambar garis-garis rumit di segi empat ini denah jalan tikus dan garis-garis rumit di segitiga adalah denah tangga. Kedua gambar segitiga dan segi empat ini saling berkaitan. Satuasra di letakan di bawah puncak. Ada tujuh tangga menuju tempat penyimpanan satuasra. Segitiga ini memberikan jalan bagaimana kita mencapainya. Kita harus menemukan tangga-tangga itu dengan bantuan denah segi empat ini.” Pafi menunjuk garis yang menjadi jalur.

“Kita berada disini, persis di tengah kuil, lihat disini ada empat titik terang.” Dimas menunjuk empat titik tepat di tengah.

“Sekarang kita ke arah mana ?” tanya Raji.

“Kita kesana” Gandrung menunjuk pintu di kiri mereka dengan yakin. Dimas tahu pengalaman Gandrung menyusuri gorong-gorong bawah tanah kota Sunda Buana tanpa pernah kesasar dan sangat hafal jalan.

“Hati-hati, mungkin banyak jebakan atau tipuan.” Pafi memberi peringatan.

“Bangsa Sinar Avedi tidak pernah membuat jebakan yang membahayakan nyawa, mereka bangsa yang cerdas dan mengagungkan kecerdasan. Paling kita akan dibuat berputar-putar tanpa ujung.” Gandrung mengerti betul sifat-sifat teka-teki yang dibuat bangsa Sinar Avedi.

“Gandrung berjalanlah di belakangku, kau tunjukan saja kemana arahnya. Aku akan mengamankan jalan.” Raji mengambil kantong bekal airnya. Air dan kantong kulit itu keluar dan memecah menjadi dua bagian menjadi dua lidah air. Raji memainkan dua lidah air itu di udara. Dimas terus merentangkan naskahnya. Gandrung berjalan persis di belakang Raji. Pafi terus mengamati pergerakan empat titik di dalam peta. Pafi menarik obor dari dalam ruangan dan membuatnya melayang di depan Raji. Naskah yang dipegang Dimas sendiri tidak terlalu memerlukan cahaya, karena semua garis dan tujuan menyala terang di atasnya.

Raji mulai bergerak dengan keadaan siaga bersamaan dengan obor di depannya. Pafi terus mempertahankan obor tetap berada di depan. Gandrung memandu arah mana yang harus diambil. Dimas memantau semua perubahan yang terjadi di atas peta.

“Kita tetap lurus” kata Gandrung

“Di depan tembok buntu, hanya ada jalan ke kiri dan ke kanan” sahut Raji.

“Gandrung betul Raji, kita harus lurus” Dimas memeriksa petanya dan sesuai seperti yang dikatakan Gandrung. Raji melontarkan kedua lidah airnya. Dua lidah air itu langsung menembus dinding seolah tidak ada pembatas di depan mereka.

“Dinding depan rupanya Cuma tipuan saja” Raji terus melangkah menerobos dinding di depannya diikuti oleh yang lainnya. Ruangan di balik dinding sedikit lebih terang dari pada lorong sebelumnya. Dengan hati-hati mereka berempat terus melangkah hingga menemukan sebuah tangga. Tanpa halangan tangga berhasil di lewati dan tiba di lantai atas. Tanpa kesulitan yang berarti mereka berhasil masuk hingga ke lantai teratas.

Sebuah ruangan dengan cahaya terang keemasan terpancar dari sebuah batu yang diletakan di depan sebuah patung Lodaya bersayap Mahakala duduk tegak bertengger di atas altar bundar. Sebaris tulisan terpahat di dinding altar yang hanya setinggi pinggang. Dimas membaca tulisan dalam bahasa Sinar Avedi itu dengan pelan.

“Pertama dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Dimanakah gelap saat terang ?”

“Apa artinya ? kenapa harus selalu teka-teki ?” Raji rada mengeluh.

“Karena memang begitulah cara Sinar Avedi merahasiakannya.” Pafi agak sebal melihat Raji.

“Pertama dari yang Sembilan, yang ini pastinya satuasra urutan satu dari Sembilan. Kalimat kedua aku tidak mengerti maksudnya. Yang bijak yang terpilih artinya siapapun yang bisa menerka teka-teki ini berarti yang terpilih. Berasal dari yang ada sekaligus tiada. Dimana gelap saat terang ?”

“Yang ada sekaligus tiada, mungkin maksudnya adalah Tuhan, yang ada tetapi tidak terlihat. Gelap saat terang ?”

“Kita ambil saja batu itu, itu kan sudah di depan mata !” Raji sudah tidak sabar.

“Jangan, ini terlalu mudah. Batu ini pasti tipuan.” Gandrung mencegah tangan Raji yang nyaris menyentuh batu yang bersinar keemasan di atas altar.

“Gelap saat terang, jawabannya ada pada bagian gelap.” Dimas menunjuk arah bayangan Lodaya bersayap mahakala. Sebuah cahaya putih lembut memancar lemah di tengah-tengah bayangan. Dimas melangkah menaiki tangga altar yang memutar di kiri dan kanannya. Kemudian dengan perlahan melangkah di belakang Lodaya bersayap mahakala. Ternyata di dinding itu terpahat sebuah relief Lodaya bersayap dengan sebuah batu bercahaya putih di atas dahinya. Tangannya meraih batu satuasra yang menempel di dinding. Sesaat setelah diambil, sebuah tulisan muncul di dinding memancarkan sinar putih keperakan. Dimas segera membaca tulisannya.

“Yang terkecil pembuka yang lebih besar…….”

Raji, Pafi dan Gandrung menyusul di belakang Dimas. Pafi membuka peta naskah Sinar Avedi. Peta itu berubah. Garis yang semula hanya dihubungkan oleh lidah api di puncak segitiga besar, kini bertambah delapan di kiri dan kanan segitiga besar menghubungkan segitiga-segitiga kecil lainnya. Sembilan bintang bersinar secara bersamaan di dalam segitiga besar.

“Lihat peta ini berubah. Semua kuil terhubung dengan Cakravartin.”

“Kaulah yang terpilih Dimas. Mungkin kau harus menyebutkan tujuan kita berikutnya, kuil yang lebih tinggi tingkatannya” kata Gandrung.

“Baiklah…… Nutana” Dimas menyerahkan naskahnya kepada Pafi.

Tulisan itu kemudian lenyap dan dinding di hadapan Dimas terbuka. Sebuah ruangan di baliknya persis sama dengan ruangan sekarang mereka berada. Di depan sebuah patung Lodaya bersayap mahakala duduk tegak di atas altar dengan sebuah batu bersinar keemasan di kakinya.

“Ayo kita masuk !” Dimas melangkah melewati pintu. Saat Raji hendak melewatinya sebuah dinding gaib menghalanginya masuk. Dimas berbalik kembali ke pintu itu.

“Kenapa kalian tetap berada di sana ?”

“Kami tidak bisa masuk.” Pafi bergantian dengan Gandrung mencoba melewati pintu. Tetapi dinding gaib tetap menghalangi mereka.

“Kami tidak bisa mengikutimu lagi, hanya yang terpilih bisa melanjutkan semuanya.” Kata Gandrung. Dimas ragu-ragu, dia tidak mau melakukannya sendirian. Dia merasa butuh teman-temannya.

“Pergilah Dimas, cepatlah kumpulkan semua batu satuasra. Kami akan mengambil jalan lain untuk keluar dari sini” kata Raji. Dorongan teman-temannya memberikan keyakinan kepada Dimas. Akhirnya Dimas melanjutkan sendiri semuanya.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang ?” tanya Gandrung.

“Kita kembali saja ke ruang keinginan. Kita menunggu disana saja.” Usul Pafi

“Aku setuju, saat ini kita tidak bisa membantu Dimas. Lebih baik kita menunggu.” Raji juga setuju dengan usulan Pafi. Gandrung tidak bisa membantah lagi.

“Mungkin batu cahaya ini bisa membantu kita melihat lebih jelas di jalan nanti.” Raji mengambil batu cahaya yang tergeletak di kaki patung Lodaya bersayap mahakala.

Belum mereka sempat melangkah menuju tangga turun, tiba-tiba sebuah hentakan angin menerpa keras. Saat membalikan badan, patung Lodaya bersayap mahakala sudah tidak lagi berada di tempatnya. Mahluk itu sedang berjalan mengelilingi ruangan sambil mengepakan sayapnya.

“Patung itu hidup, apakah dia makan daging ?” Raji sedikit gemetar.

“Kau ini iseng sih, seharusnya kita sudah jalan tenang tadi. Sekarang kita harus menghadapi mahluk penjaga ini.” Pafi kesal sekali kepada Raji. Raji meletakan kembali batu cahaya pada tempatnya. Hatinya berharap Lodaya itu kembali lagi menjadi patung. Tapi harapannya tidak terjadi. Batu cahaya telah berpindah dari tempatnya.

“Mahakala mahluk penjaga, dia akan menyingkirkan apapun yang bukan dijaganya. Termasuk kita.” Gandrung berbisik.

“Kita harus segera keluar dari tempat ini” kata Pafi

“Bagaimana caranya, kalau dia masih nongkrong di depan tangga. Itu satu-satunya jalan kita keluar. Kata Raji

“Sepertinya dia sedang menunggu, dia tahu kalau itu satu-satunya jalan untuk keluar.” Kata Gandrung.

“Maksudmu dia bisa berpikir ? mudah-mudahan dia bisa diajak ngobrol sekalian, biar kita dikasih jalan lewat.” Raji mulai agak ngawur

“Kita terpaksa harus menghadapinya, kalau tidak kita akan menginap selamanya disini. Kata Pafi “Kita serang dia dari dua arah. Gandrung begitu ada kesempatan, kau harus lebih dulu melewati tangga itu.” Gandrung mengangguk. “Aku akan menyerangnya lebih dulu”

“Tunggu, bukankah sebaiknya kita beramah tamah dulu, siapa tahu dia tidak jahat”

“Terserah kau lah, tapi aku akan sudah siap dengan seranganku” Pafi menggenggam kedua tangannya. Ketiganya menuruni altar. Lodaya bersayap mahakala itu menyadari kedatangan ketiganya. Suara mengaum menggema menggetarkan seluruh dinding ruangan. Raji melangkah paling depan. Hatinya dikuatkan sedikit agar tidak terlalu gemetar.

“Hai, aku Raji mau numpang lewat. Boleh kan ?”

Lodaya itu mengaum keras dan mengambil gerakan menyerang. Sesaat sebelum melompat hendak menerkam Raji, Pafi mengerahkan tenaganya menghantamkan pilar angin ke arah Lodaya itu. Tidak tanggung-tanggung Lodaya itu langsung terjengkang menghantam dinding hancur berantakan seperti batu. Gandrung melompat menuruni tangga. Raji dan Pafi tersenyum senang. Tetapi dalam sekejap semua serpihan batu itu menyatu kembali dan hidup. Lodaya itu kembali menyerang. Raji melepaskan lidah airnya menghantam tubuh Lodaya bersayap itu. Lodaya itu kembali hancur berantakan tetapi sayapnya sempat menghantap Raji. Badan Raji terhuyung ke belakang. Tangannya berusaha meraih pinggiran altar mencegah dirinya jatuh terjerembab.

Secara tidak sengaja tangan Raji menyentuh batu cahaya yang menerangi ruangan. Tangannya dengan gerakan reflex menggenggamnya sehingga hanya sebagian cahaya yang keluar. Lodaya bersayap mahakala yang terjengkang hancur karena hantaman lidah air Raji berubah kembali menjadi batu dan tidak kembali utuh. Raji membuka tangannya kirinya yang memegang batu cahaya. Cahayanya kembali menyebar menerangi ruangan dan menyinari serpihan batu patung Lodaya bersayap mahakala. Seketika batu-batu itu kembali menyatu dan berubah hidup kembali.

“Raji kau harus terus menggenggam batu cahaya itu. Disanalah sumber kehidupannya. Jangan sampai sinarnya menyentuh tubuhnya. Dia akan menjadi batu kalau berada dalam kegelapan.” Pafi menyadari kelemahan mahluk itu. Kedua tangannya telah siap melakukan serangan kalau mahluk itu kembali menyerang. Raji segera menggenggam kembali batu itu. Lodaya itu berubah kembali menjadi patung. Kesempatan itu digunakan Raji dan Pafi menyusul Gandrung yang sudah menunggu di bawah tangga.

“Ayo kita segera tinggalkan tempat ini” Raji melemparkan kembali batu cahaya itu ke ruangan di atasnya.

“Kenapa kau buang ?” kata Pafi

“Kau mau membangunkan setiap patung yang kita lewati ? Aku tidak mau. Kalau kau mau ambil lagi sendiri.” Raji rada jengkel. Pafi menangkap maksud Raji. Tanpa banyak bicara lagi mereka bertiga kembali menelusuri lantai demi lantai hingga kembali ke ruang keinginan.

---- *** ----

Dimas melangkah sendirian tanpa teman-temannya. Kali ini di ruangan puncak kuil Nutana. Dimas melangkah menuruni tangga hingga ke depan altar. Sebuah patung Lodaya bersayap mahakala yang sama seperti di ruang kuil andavantara duduk tegak di hadapan sebuah batu bercahaya kuning keemasan. Sebuah tulisan Sinar Avedi terukir di dinding altar. Dimas membaca tulisan itu. Kali ini isinya berbeda dengan yang sebelumnya.

“Kedua dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Di hadapan penjaga terang. Dimanakah gelap saat terang ?”

Dimas bergerak menaiki altar menuju dinding yang tertutup bayangan patung. Matanya mencari-cari titik terang di atas dinding. Tidak ada setitik pun cahaya yang terlihat. Dimas terus mencari-cari.

“Mungkin tidak di tempat yang sama. Pasti Sinar Avedi tidak akan membiarkannya terlalu mudah. Kira-kira dimana disimpan ? Kalimat petunjuknya selalu sama. Yang terkecil pembuka yang lebih besar, dimanakah gelap saat terang. Pasti ini berkaitan dengan bayangan atau keadaan gelap. Yang terkecil mungkin maksudnya batu satuasra ini. Dia yang terkecil dari Sembilan.” Dimas melangkah turun kembali ke hadapan tulisan di dinding altar.

“Apa gunanya patung ini ? pastilah patung ini ada gunanya. Pastinya untuk menjaga batu satuasra.” Dimas menatap patung Lodaya bersayap itu.

Kemudian pandangannya disapu ke seluruh dinding ruangan. Delapan relief Lodaya bersayap terukir di atas dinding. Seluruh permukaannya begitu sempurna. Diukir dari batu utuh berwarna hitam. Tapi ada satu relief yang cacat. Pada bagian dahi persis diantara kedua alisnya terdapat sebuah lubang tidak beraturan.

“Relief ini sempurna sekali, tapi kenapa dahinya seperti bolong seperti ini. Mungkin terkena pahat saat membuatnya.” Dimas mengusap lubang di dahi relief itu dengan telunjuknya.

“Eh, bentuknya pas sekali dengan batu satuasra ini. Mungkin ini maksudnya sebagai pembuka yang lebih besar.” Dimas menyelipkan batu satuasra ke dalam lubang di dahi relief itu. Batu itu pas sekali menyelip di dalamnya. Sinar putih memancar keluar kemudian menjalari seluruh tubuh relief itu. Sesaat kemudian sebuah kepakan sayap terdengar. Angin kencang menerpa wajah Dimas. Patung Lodaya bersayap itu hidup. Dimas sangat terkejut melompat ke belakang menghindar. Lodaya itu berdiri tegak dengan sayap terkembang mulai menggeram menatap tajam kearah Dimas. Dimas mengambil sikap menyerang. Dalam sekejap Lodaya itu menerkam kearah Dimas. Kedua cakarnya menjulur kuat ke depan. Dengan sigap Dimas berjongkok dan bagian dada Lodaya itu begitu terbuka dan dengan kesempatan yang tepat Dimas menghantamkan tanganya. Sebuah sinar putih melesat tepat ke dadanya. Lodaya itu hancur berantakan menjadi serpihan batu. Tetapi sesaat kemudian semua serpihan batu itu bergerak menyatu kembali dan menjadi Lodaya utuh. Dimas bergerak mundur menyiapkan serangan lagi. Lodaya itu kembali siap menyerang.

“Gila, Lodaya ini hidup lagi. Bagaimana aku mengalahkannya kalau setiap aku hancurkan dia menyatu kembali dan hidup lagi.” Dimas melompat menghindar saat Lodaya itu mulai menerkam. Kemudian melompat ke atas altar. Dimas menghitung-hitung serangan yang akan dilakukannya. Kakinya tidak sengaja menginjak batu cahaya di bawahnya. Ruangan menjadi gelap sekejap. Sesaat Dimas melihat sebuah cahaya putih. Di punggung Lodaya itu. Saat cahaya kembali menerangi ruangan, Lodaya itu mengibaskan sayapnya. Kemudian menggeram dan kembali menerjang kearah Dimas. Tapi Dimas sudah siap dengan pukulannya. Dimas menghantamkan tenaganya tepat di kepala. Lodaya itu terjengkang hancur di bagian kepala. Tetapi sesaat kemudian semua serpihannya menyatu kembali dan bergerak menyerang kali. Kali ini Lodaya itu terbang mencoba menerkam dari atas. Dimas menghindar, tapi tangannya sempat terhantam kaki belakangnya. Dimas terjengkang ke lantai altar menimpa batu cahaya. Lodaya yang sedang terbang itu tiba-tiba jatuh ke lantai dan berubah menjadi batu. Ruang kembali gelap, kilau cahaya putih tampak di tempat jatuhnya Lodaya itu.

“Patung Lodaya bersayap itu hidup dari cahaya dari batu ini. Setiap cahaya ini tertutup dia akan kembali menjadi batu. Mungkin ini yang dimaksud dengan kalimat ‘penjaga terang’. Dia hidup saat terang” Dimas perlahan bangkit mengambil batu cahaya yang tertutup tubuhnya. Sedikit cahaya masih bisa keluar memberikan sedikit penerangan untuk berjalan. Dimas berusaha menghindari berkas-berkas cahaya yang keluar tidak menyentuh patung Lodaya itu. Kemudian perlahan mendekati berkas sinar putih di punggung Lodaya itu dan mengambilnya. Satu batu satuasra kini berada di tangannya. Kemudian tangan mengambil batu satuasra pertama di dinding relief.

“Dua sudah aku dapat, kini tinggal tujuh lagi. Patung itu harus aku hidupkan dulu dengan meletakan batu satuasra pertama di dinding relief. Batu yang lain ada di tubuh patung itu. Mudah-mudahan yang lain tidak sesangar ini Lodayanya.” Dimas melepaskan batu cahaya dan terang pun kembali ke seluruh ruangan. Patung Lodaya bersayap itu tetap tergeletak tidak bergerak. Dimas sudah menemukan kelemahan patung Lodaya bersayap itu.

Dimas melangkah dan berdiri di depan dinding belakang altar. Mulutnya menyebutkan sesuatu dengan pelan sekali. Pintu menuju ruangan kuil terbuka. Mandala Sura kuil ketiga. Ruangan kuil Mandala Sura masih sama dengan kuil-kuil sebelumnya. Setelah melewati dua kuil sebelumnya Dimas mendapati keyakinannya lebih tinggi. Langkahnya tidak lagi ragu. Matanya mengamati relief Lodaya bersayap yang terpahat di seluruh dinding. Dimas langsung menghampiri relief Lodaya bersayap mahakala dengan cacat di dahinya dan melekatkan batu satuasra dari kuil Andavantara ke dahi relief itu. Sesaat setelahnya Dimas mengambil batu cahaya dan menggenggamnya erat. Tak satu pun cahaya batu itu menyentuh patung. Namun tiba-tiba mata patung Lodaya itu bersinar merah. Dalam ruangan yang gelap jelas sekali sinar matanya memancar. Dimas terus menggenggam erat batu cahaya di tangannya. Kakinya melangkah mundur.

“Mengapa patung ini malah hidup ? bukankah dia seharusnya tetap menjadi batu ?”

Dimas belum sempat lagi memikirkan apa yang terjadi, Lodaya itu telah menyerang. Dengan sekuat tenaga tangannya menghantamkan ke tubuh Lodaya itu. Suasana gelap membuat Dimas terpeleset. Batu cahaya dalam genggamannya terlepas. Seluruh ruangan kembali terang. Dimas melihat serpihan patung Lodaya yang berserakan tak bergerak.

“Patung ini tidak menyatu lagi. Justru hidup saat gelap. Patung ini kebalikan dari patung di kuil Nutana. Gawat, untuk mengetahui dimana letak batu satuasra hanya dengan kegelapan. Berarti aku harus mencarinya saat patung itu hidup.”

Dimas kemudian mengambil batu cahaya yang terletak tak jauh darinya. Batu itu digenggam erat setelah mengambil tempat agak jauh dari tempat patung Lodaya itu berada. Serpihan tubuh patung Lodaya itu bergerak menyatu kembali. Sesaat kemudian berdiri tegak dan hidup. Matanya merah menyorot tajam kearah Dimas yang telah siap melakukan serangan. Dimas berusaha mencari cahaya putih. Matanya menangkap berkas putih di bagian perut bawah. Tiba-tiba Lodaya itu sudah melompat. Dimas membuka tangan kirinya yang sedang menggenggam batu cahaya. Selagi masih di udara, Lodaya itu berubah kembali menjadi patung dan berdebum keras di lantai. Dua kaki dan sayapnya patah.

Dimas melompat menghampiri patung Lodaya itu. Tangannya mengusap bagian perut bawah patung yang sudah pekat oleh debu. Sebuah batu menempel di lapisan bawahnya. Dimas kemudian menarik batu itu dan batu pertama di dahi kepala relief di dinding.

“Tiga batu satuasra, tinggal enam lagi. Mengapa patung ini malah hidup saat gelap. Apa ada yang aku lewatkan ?” Dimas melihat tulisan di dinding altar.

“Ketiga dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Di hadapan penjaga gelap. Dimanakah gelap saat terang ?”

Dimas mengerti, dia telah melewati kalimat itu. Tiap kuil memiliki sifat penjaga yang berbeda-beda. “Aku harusnya tadi membaca lebih dulu.”

Kemudian kakinya melangkah ke depan dinding belakang altar. Lalu menyebutkan nama kuil berikutinya. “Pagan”. Kali ini Dimas tahu dimana kesalahan-kesalahannya dan berusaha lebih teliti. Ruang kuil Pagan tetap sama dengan kuil-kuil sebelumnya. Hanya terdapat sebuah patung Lodaya bersayap mahakala dengan sebuah batu cahaya di depan kakinya menerangi semua ruangan. Sebelum melakukan apapun matanya menatap semua tulisan di dinding altar.

“Keempat dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Di hadapan penjaga dua dunia. Dimanakah gelap saat terang ?”

“Penjaga dua dunia ? Apa maksudnya ? Dunia gelap dan dunia terang? mungkin Lodaya penjaga tetap hidup di saat terang maupun gelap. Lalu bagaimana melumpuhkannya ? Kalau saja ada Raji, pasti dia senang membantuku bermain-main dengan Lodaya ini”

Dimas berpikir keras, matanya terus melihat ke sekeliling ruangan. Di dinding ruangan terdapat beberapa relief patung Lodaya bersayap. Mau tidak mau Dimas harus menghadapinya. Tidak ada pilihan lain. Tangannya meraih batu cahaya di atas altar. Kemudian Dimas mengelilingi dinding di belakang altar. Delapan relief Lodaya bersayap mahakala terpahat. Dimas meneliti satu persatu relief yang memiliki lubang di bagian keningnya. Kemudian Dimas meletakan batu satuasra kuil Andavantara ke dalam lubang itu. Patung Lodaya bersayap mahakala di belakangnya mulai bergerak. Dimas mengepalkan tangan dirinya yang sedang memegang batu cahaya. Matanya berusaha mencari titik cahaya putih di setiap bagian tubuh Lodaya itu. Tapi hanya dua sinar merah yang memancar dari kedua mata Lodaya itu. Dimas mulai melakukan serangan lebih dulu sebelum Lodaya itu menyerang. Dia ingin mendapatkan waktu yang cukup untuk berpikir memecahkan teka-teki ini. Sekali melompat Dimas dengan tenaganya melempar Lodaya itu ke dinding. Lodaya itu terbentur hebat, sayapnya hancur berantakan. Dimas melompat menghampiri mengambil kesempatan mencari berkas cahaya satuasra sebelum serpihan tubuh Lodaya itu menyatu kembali. Tidak ada tanda satu pun sinar putih terlihat. Lodaya itu kembali utuh dan menyerang dengan ganas. Dimas harus berulang kali menghindar dan membuat Lodaya itu hancur berantakan. Tetapi dalam sekejab hewan itu kembali utuh. Dimas mulai kelelahan dan kehilangan tenaga. Sekali serangan Lodaya itu kali ini membuatnya terjengkang tergeletak di bawah dinding altar. Dengan auman yang keras Lodaya itu melompat persis di atas tubuh Dimas. Sesaat Dimas melihat sebuah berkas cahaya putih. Dimas berguling menghindar sehingga Lodaya itu hanya menabrak dinding altar. Dimas langsung bangkit.

“Batu itu ada di belakang dagunya.” Tanganya mengerahkan tenaga sekuatnya diarahkan ke leher Lodaya yang sedang berusaha bangkit. Lodaya itu tidak berkutik. Lehernya hancur berantakan, kepalanya lepas dari tubuhnya. Dengan cepat Dimas mengambil kepala Lodaya itu. Tangannya merogoh ke bawah dagunya. Akhirnya sebuah batu satuasra berhasil dikeluarkan dari mulut Lodaya itu. Lodaya itu tidak kembali lagi.

“Sudah empat, tinggal lima lagi.” Dimas melangkah ke dinding di belakang altar setelah mengambil batu satuasra kuil andavantara di dinding relief. Suaranya yang kelelahan mengucapkan kata “Kutai”. Pintu terbuka menuju kuil Kutai. Dengan gontai Dimas melangkah ke depan altar. Tulisan yang sudah empat kali dia lihat terpahat di dinding altar.

“Kelima dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Di hadapan sang penjaga empat penjuru. Dimanakah gelap saat terang ?”

Dimas berkeliling mencari relief Lodaya bersayap di dinding yang memiliki cacat di dahinya. Kemudian memasukan batu satuasra pertama ke dahi relief Lodaya.
Antara keinginan untuk menghidupkan patung Lodaya itu dan malasnya harus bertempur lagi dengannya. Tapi tidak ada pilihan lain. Untuk mendapatkan batu satuasra harus menghidupkan patung Lodaya bersayap lebih dulu sebagai penjaganya. Batu satu asra baru akan mengeluarkan sinar putih di kegelapan.

Patung Lodaya bersayap mulai hidup. Dimas mulai berpikir keras dimana batu satuasra itu diletakan. Matanya menyapu seluruh bagian di tubuh Lodaya itu mencoba mencari dimana batu satuasra berada. Lodaya itu menggeram, tubuhnya membungkuk. Sebuah terkaman sedang disiapkan. Tapi Dimas sudah siap dengan sebuah pukulannya. Lodaya itu akhirnya melompat menerjang kearah Dimas. Dimas melompat ke samping, sedikit membungkukan badannya menghindari sayap yang terkembang. Ruang terbuka memberikan kesempatan sebuah pukulan dilepaskan tepat di bagian perut. Sebuah sinar putih meluncur dari tangan kanan Dimas tepat menghantam. Lodaya itu terlempar ke samping dan jatuh di lantai. Tapi kali ini tidak ada satupun dampak dari pukulan itu. Lodaya itu bangkit kembali siap menyerang.

“Gila ! Lodaya ini tahan serangan, aku tidak bisa menghancurkannya seperti yang sebelumnya.” Dimas terus berpikir keras. “Mungkin ada hal lain yang terlewat, Aku membutuhkan Gandrung untuk memecahkan teka-teki ini. ’Di hadapan sang penjaga empat penjuru’ mungkin empat hal yang harus aku jalankan.”

Lodaya itu kembali menyerang. Dimas hanya melakukan gerakan menghindar. Sesekali sebuah pukulan dilepaskan untuk membuatnya berada lebih jauh dari dirinya. Dimas tidak mau membuang tenaga. Semua pukulannya tidak memberikan kerusakan apapun pada tubuh Lodaya itu.

Dimas memeriksa kembali relief Lodaya sambil terus menghindari serangan-serangan Lodaya itu. Kali ini beberapa Lodaya memiliki cacat yang berbeda-beda. “Lodaya ini memiliki lubang di punggung, yang ini di perut” Dimas mengelilingi ruangan.

“Ah relief-relief Lodaya ini melambangkan penjaga dari batu-batu satuasra yang telah aku ambil.” Satu per satu Dimas memasukan batu-batu satuasra itu ke dalam masing-masing relief.

“Empat penjuru, empat relief patung di empat jurusan.” Saat batu terakhir ditempatkan, empat buah sinar putih meluncur keluar dari tiap batuasra hingga saling menyatu persis di tengah ruangan.

“Sekarang apa lagi ? Mungkin aku pukul saja sekerasnya” Dimas tidak lagi mau memikirkan apa yang harus dipecahkannya kali ini. Lodaya itu kembali menyerang dengan cepat. Suaranya mengetarkan seluruh ruangan. Dimas melompat menyambar batu cahaya yang tergeletak di atas altar. Sesekali batu itu di genggam sehingga beberapa bagian ruangan menjadi gelap. Matanya terus mencari sinar putih di tubuh Lodaya itu. Tetapi Lodaya itu tidak pernah membiarkan Dimas punya cukup waktu untuk mengamatinya di dalam gelap. Matanya yang merah bergerak cepat kearah Dimas. Dimas melompat mundur menghindari serangan. Tangan kirinya telah siap dengan sebuah perisai gaib. Tangan kanannya sudah siap melepaskan serangan. Dimas berlari turun dari altar. Lodaya itu berbalik mengejarnya. Dimas melepaskan serangannya. Sebuah sinar putih meluncur deras menghantam kaki kiri Lodaya. Kaki Lodaya itu hancur berantakan. Dimas sungguh senang melihat serangannya kali ini memberikan dampak kepada Lodaya itu. Tetapi sama dengan Lodaya lain, dalam sekejap serpihan kakinya menyatu kembali.

“Paling tidak sekarang aku bisa membuatnya pecah berantakan. Dan itu cukup untuk membuatku mengambil batu satuasra dari tubuhnya.”

Lodaya itu kembali menyerang. Dimas berusaha menghindar, tetapi kakinya tersandung hingga tersungkur. Saat hendak membalikan tubuhnya dan Lodaya itu sudah melompat menyerang. Tidak sempat melepaskan serangan, Dimas membuat perisai gaib di atas tubuhnya yang telentang di atas lantai. Tubuh Lodaya itu mendarat persis di atas perisai gaib Dimas. Tangannya berusaha menembus perisai. Mulutnya meraung berusaha mengigit. Sebuah sinar putih terbersit saat Lodaya itu berusaha menggigitnya. Dimas berusaha keras mempertahankan perisai gaib. Tangan kanannya melepaskan pukulan ke tubuh Lodaya itu. Saat tubuh Lodaya itu terjengkang ke belakang menghantam dinding dan hancur berantakan. Dimas mengambil kesempatan untuk bangkit dan mengambil kepala Lodaya itu sebelum menyatu kembali.

“Batu itu berada di mulutnya.” Tangannya merogoh ke dalam mulut Lodaya. Sebuah batu bersinar putih keluar dari mulut Lodaya itu. Sinar yang keluar dari empat penjuru seketika lenyap.

“Akhirnya lima batu satuasra. Tinggal empat lagi. Sekarang aku harus ke kuil Siam”

Dimas tidak lagi mau membuang waktu, langkahnya segera diarahkan ke dinding di belakang altar. Begitu menyebutkan nama kuil selanjutnya sebuah pintupun terbuka. Ruangan yang sama terlihat di balik pintu itu. Dengan langkah pasti Dimas memasuki ruangan. Patung Lodaya bersayap mahakala duduk tegak di tengah altar. Batu cahaya tergeletak begitu saja di depan kakinya. Matanya menyapu tulisan bahasa Sinar Avedi yang terukir di dinding depan altar.

“Keenam dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Di hadapan penjaga lima kebajikan. Dimanakah gelap saat terang ?”

“Lima kebajikan ? Apa lima kebajikan di dunia ?
Dimas menyusuri dinding kuil mencari lubang-lubang di bagian-bagian tubuh relief Lodaya tempat meletakan batu satuasra.

“Relief-relief ini tidak ada lubang sama sekali. Apakah teka-tekinya telah berubah ? Mudah-mudahan lebih menyenangkan. Lodaya itu berubah jadi kucing yang manja. Ah, pasti ini berkaitan dengan lima kebajikan. Aku harus menemukan apa lima kebajikan itu. Huh sayangnya tidak ada Pafi disini. Kalau saja ada dia pasti semuanya sudah terjawab.”

Dimas mendekati relief Lodaya pertama dimana biasanya dia menempatkan batu satuasra kuil andavantara. Tanganya meraba-raba dahi relief Lodaya itu. Tidak ada lubang satu pun terdapat di sana.

“Lima kebajikan ? Tidak membunuh ?” Dimas mencoba-coba menerka. Tidak diduga tebakannya memberikan hasil. Sebuah lubang terbuka di bagian dahi relief Lodaya itu. Dimas senang sekali.

“Ah…berhasil” tanganya mengambil batu satuasra paling kecil dari kantong kulit di pinggangnya dan meletakannya ke dalam lubang itu. Dimas melangkah ke relief berikutnya.

“Tidak Merokok ? Tidak Mencuri ? Ah mungkin jawabannya adalah dosa-dosa yang tidak boleh dilakukan” sebuah lubang muncul di bagian punggung relief. Segera sebuah batu satuasra diletakannya.

“Tidak Menipu ? Tidak berbohong” Dua lubang lain muncil di perut bawah relief yang lain.

“Sekarang apa yang terakhir. Tidak minum minuman keras ? sepertinya tidak. Tidak keluar asrama tengah malam ? tidak juga. Tidak menghamili istri orang?” Sebuah lubang di bagian mulut relief terbuka. Tetapi sesaat kemudian tertutup lagi.

“Ah tadi sudah terbuka. Mengapa tertutup lagi ? Tidak menghamili istri orang ?” Dimas menyebutkan lagi. Hal yang saja terjadi. Lubang itu tertutup sesaat setelah terbuka.

“Ah, aku tahu mungkin yang lebih tepat Tidak boleh berzina !” Lubang itu terbuka kembali dan kali ini tetap terbuka. Dimas meletakan batu satuasra terakhir ke dalam lubang itu.

Lima sinar putih memancar dari lima relief Lodaya bertemu di tengah-tengah kuil. Patung Lodaya di tengah altar kali ini tidak menyerang. Sayapnya dilipatkan ke tubunya dan memberikan sembah kepada Dimas. Setelah batu satuasra ke lima, baru kali ini lodaya penjaga batu satuasra tidak menyerang. Ekornya yang panjang dijulurkan ke depan pada posisinya yang menyembah. Sebuah cahaya putih memancar dari ujung ekor lodaya itu. Dimas menarik batu satuasra. Lodaya itu kembali ke tempatnya semula di atas altar dan diam tidak bergerak lagi.

“Enam satuasra, tinggal tiga.” Dimas segera melangkah ke depan dinding di belakang altar. Dengan pelan mulutnya menyebutkan nama kuil berikutnya. “Angkorwat”

“Ketujuh dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Di hadapan penjaga enam putaran bumi. Dimanakah gelap saat terang ?”

“Enam putaran bumi ? artinya enam hari ? enam hari bumi ? Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, emmmmmmm… tujuh, bukan enam ? Mungkin pasaran jawa. Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage….Cuma lima. Enam hari ?” Apa maksudnya enam hari putaran bumi ? Penciptaan bumi ?

Saat bintang pertama menyerahkan dirinya untuk kehidupan
Keduanya hanyalah api yang membara
Air mendinginkannya pada saat ketiga
Setelahnya udara ditiupkan bersama badai pada yang keempat
Lima hari menunggu bumi menjadi rumah
Bulan menggantung indah pada yang keenam
Surga kedua tercipta di hari ke tujuh
Para Dewa bertanya,
Apakah Tuhan telah melakukan kesalahan ?
Mengapa Dia menciptakan surga yang lain ?
Mengapa Dia membuatnya lebih indah dari surge kita ?
Mengapa Dia memberikannya pilihan ?
Ah, ternyata Tuhan juga tak sesempurna katanya
Kalau tidak salah, mengapa Dia harus membahayakan dunia sempurna yang diciptakannya dengan menciptakan lagi mahluk yang tak putih tak juga hitam
Manusia, apakah dia beruntung atas sebenarnya terkutuk
Tapi kalaupun terkutuk aku sangat ingin menjadi seperti mereka
Begitu bebas dengan pilihan Tuhannya

“Bintang, Api, Air, Udara, Bumi, Bulan ya itu dia jawabannya. Sekarang tinggal mendapatkan kata yang tepat”

Dimas mengelilingi dinding relief. “Bintang berarti Astra” Sebuah lubang terbuka untuk satuasra pertama. Dimas meletakannya segera. Api mungkin berarti agni.” Sebuah lubang terbuka, tetapi sesaat kemudian tertutup kembali. “Ah nyaris, aku harus cari kata yang lain, mungkin Aktu” Sebuah lubang terbuka di punggung relief Lodaya yang lain.

“Yang kedua sudah, Air sama dengan banyu, tirta, samudhra” lubang lain muncul di perut relief lodaya.

“Angin artinya bayu, nah lubang keempat terbuka. Bumi ya Bhumi.” Lubang ke empat dan kelima telah terbuka dan Dimas langsung meletakan batu satuasra ke dalamnya.

“Yang terakhir bulan sama dengan Chandra” lubang terakhir muncul di ujung ekor relief. Enam sinar putih dari enam batu satuasra meluncur ke tengah ruangan dan menyatu. Kemudian berpendar memenuhi seluruh ruangan memberikan gambar luar biasa di seluruh ruangan. Pemandangan ruang angkasa dengan ribuan bintang bersinar. Kemudian muncul sebuah bintang berekor meluncur jatuh tepat di atas ubun-ubun patung lodaya. Dimas segera menghampiri patung lodaya bersayap itu. Sebuah sinar putih berkilau di atas ubun-ubunnya. Dimas mengambilnya dan kemudian satu per satu mengambil sisa batu satuasra yang tadi diletakan di dinding relief.

“Tujuh batu satuasra, tinggal dua lagi. Aku harus bergegas.” Dimas berlari menaiki tangga altar menuju dinding di belakang altar.

“Viet” sebuah pintu membuka sebuah ruangan yang sama. Dimas melangkah ke dalam. Hatinya mulai merasa bosan dengan teka-teki ini. Kakinya gontai ke depan altar.

“Kedelapan dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Di hadapan penjaga tujuh jiwa. Dimanakah gelap saat terang ?”

“Penjaga tujuh jiwa ? mungkin tujuh titik cakra manusia seperti kata pak Narso.”

“Sahasrara, Ajnya, Wisudhi, Anahata, Manipura, Swadhisthana, Muladhara” Satu per satu lubang-lubang terbuka di relief-relief lodaya. Dimas menempatkan batu-batu satuasra secara berurut. Tujuh sinar putih meluncur dari ketujuh batu satuasra itu dan menyatu di tengah seperti sebuah jaring laba-laba. Sebuah sinar putih berkilau di pusar patung itu. Dimas mengambilnya dengan mudah. Setelah semua batu satuasra di dinding relief sudah diambil kembali, kini kuil terakhir

“Rajatapura”

Dimas untuk terakhir kalinya melangkah ke depan altar dimana patung lodaya bersayap mahakala duduk tegak di depan batu cahaya yang bersinar menerangi seluruh ruangan.

“Kesembilan dari yang Sembilan. Yang terkecil pembuka yang lebih besar. Hanya yang bijak yang terpilih. Jika berasal dari yang ada sekaligus tiada. Di hadapan penjaga delapan ruang waktu. Dimanakah gelap saat terang ?”

“Delapan ruang waktu, seperti yang dikatakan oleh Ratu Kerajaan Selatan. Mudah-mudahan aku tidak salah, Bajra, Sangkha, Danda, Khadga, Nagapasa, Dwaja, Cakra, Trisula.” Dimas menyebutkan satu per satu nama-nama ruang waktu yang pernah didengarnya dari Ratu Kerajaan Selatan. Satu per satu pula sebuah lubang bermunculan di relief-relief lodaya. Dimas meletakannya secara berurutan. Sinar putih meluncur dari delapan penjuru saling bertemu di tengah ruangan. Patung lodaya bersayap mahakala hidup dan tetap duduk tegak. Sayapnya mengepak pelan. Dadanya mengeluarkan cahaya putih paling terang. Dimas mengambil batu satuasra di dada lodaya itu. Dan satu persatu semua batu satuasra diambil dari relief. Lengkaplah Sembilan batu satuasra. Sebuah pintu terbuka di dinding belakang altar. Ruangan yang berbeda tampak di baliknya. Antara kelegaan dan pertanyaan di dalam hatinya, Dimas melangkah memasuki ruangan.

BAGIAN 11 - DENDAM LAMA

Sunda Buana tidak diperintahkan membuat perahu kehidupan, tetapi ratusan prajurit dikerahkan membuat sebuah jalan yang cukup lebar dari pinggir gerbang benteng barat daya hingga menuju tebing air terjung kamandaka. Masyarakat kota Sunda Buana sendiri belum mendapatkan berita apapun mengenai akan adanya bencana yang akan melanda kota mereka. Pelabuhan kota diperbaiki dan diperluas untuk berlabuh sembilan perahu kehidupan dari sembilan kota. Usaha Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung mengalami kebuntuan dalam memecahkan teka-teki berikutnya. Sembilan batu satuasra harus segera mereka dapatkan sebelum purnama ini berakhir dan itu artinya tinggal dua pekan lagi. Akhirnya diputuskan untuk mengambil rehat sejenak dari semua teka-teki yang sudah membuat kepala mereka pusing.

“Bagaimana kalau kita main dulu ke Rajatapura. Kita lihat tempat pembuatan perahu kehidupan disana” Raji memberikan usul. Yang lain seperti sudah kehilangan daya pikir untuk lepas dari kesumpekan sendiri. Hasilnya dengan mudahnya usulan Raji disetujui. Bahkan Pafi seperti tidak peduli lagi kemana mereka akan pergi, yang penting kepalanya lepas dari peta naskah itu dulu.

Berjalan menuju gerbang selatan kota dimana lubang cacing berada tidaklah semenyenangkan biasanya. Gorong-gorong selatan kota tidak lagi terlalu menarik untuk dikunjungi. Raji benar-benar yang memimpin sekarang. Semangatnya tidak pernah pudar kalau sudah ingin melihat sebuah kapal. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mereka tiba di kota Rajatapura. Sebuah dermaga terlihat di bawah gorong-gorong kota Rajatapura. Perahu yang hampir jadi telah bersandar di dermaga pembuatan kapal. Ukurannya begitu besar bahkan lebih besar dari pavaratha induk Ki Salakanagara yang sandar di sebelahnya. Sungguh suatu kerja yang sangat ajaib mengingat baru dua setengah purnama mereka membuatnya. Walaupun telah melihat sebelumnya kekaguman Raji tidak pernah turun setiap melihat kemegahan Ki Salakanagara.

“Ayo kita lihat tempat pembuatan perahu kehidupan itu” Raji begitu ingin melihat bagaimana sebuah perahu dibuat. Obsesinya nyaris sama dengan melihat Ki Salakanagara. Banyak penduduk kota Rajatapura yang mendatangi tempat pembuatan perahu kehidupan. Perahu yang mereka tahu hanyalah pesanan dari ibukota kerajaan Sunda Buana. Dimas sendiri tidak melihat ada yang istimewa dari perahu kehidupan itu. Semuanya biasa saja. Peran dan tugasnyalah yang membuatnya istimewa. Hatinya lebih tenang. Paling tidak ada langkah penyelamatan yang dilakukan pada saat bencana datang nanti. Tetapi beban itu muncul kembali. Dan membuatnya merasa tertekan sekali. Bagaimana kalau dia tidak bisa mendapatkan Sembilan batu satuasra yang dibutuhkan untuk membuka gerbang dunia tengah. Keyakinannya mulai runtuh. Satu-satunya tempat berpegang kini hanya pada ketiga sahabatnya. Matanya memandang nanar kearah perahu setengah jadi di hadapannya.

Beberapa lama setelah melihat-lihat di dermaga kapal, mereka lanjutkan dengan makan ikan panggang di tempat mang Jangkung.

“Selamat siang mang jangkung.” Gandrung menyapa laki-laki tinggi yang sedang sibuk membersihkan sisik ikan di pinggir gubuk warungnya.

“Nak Gandrung, masuk nak…mamang lagi membersihkan ikan dulu yah” Lelaki tua itu tersenyum ramah.

Raji lebih dulu masuk ke dalam warung. Pisang goreng langsung mendarat di mulutnya dan mengunyah lahap. Suasana hati Dimas, Pafi dan Gandrung mulai membaik. Tingkah Raji cukup menghibur mereka. Sejenak terlupakan semua masalah teka-teki naskah Sinar Avedi. Ikan bakar menjadi pilihan bersama. Pafi menangkap wajah yang tidak asing baginya. Tetapi sulit sekali diingatnya.

“Gandrung, kau ingat dengan orang itu ?” Pafi berbisik kepada Gandrung sambil menunjuk seorang lelaki muda yang sedang berjalan dengan seorang lelaki sebaya.

“Dia kan Nusapati, orang yang kita lihat ikut rapat dengan menteri Narasoma, Wardhana dan Aryadwipa. Dia diam sekali waktu di rapat itu.” Kata Gandrung.

“Betul, dan orang itu juga yang pernah berada di warung ini makan bersama kita waktu pertama kali kau ajak kami ke tempat ini, ingat!” Pafi mengingat kembali semua hal yang terjadi di Rajatapura sewaktu pertama kali mereka berkunjung.

“Ya betul, aku ingat dia ada di meja sebelah kita” kata Dimas.

“Mengapa dia ada disini ? bukankah seharusnya dia berada di Sunda Buana?” Pafi bergerak keluar warung mencari tahu kearah mana orang itu pergi. Mang Jangkung baru selesai membersihkan ikan-ikannya. Tangannya masih basah dengan air.

“Mang Jangkung, mamang tahu orang itu tidak ?” Dimas menunjuk ke kejauhan. Mang Jangkung tidak kesulitan melihat orang yang dimaksud Dimas, karena di tengah hamparan pasir pantai Cuma ada dua orang itu saja yang lewat.

“Oh itu den Nusapati. Memangnya kenapa ?” Mang Jangkung menjawab.

“Memangnya dia sering ke tempat ini ya mang ?” Dimas yakin dengan jawaban pertama mang Jangkung sudah memberitahukan kalau Nusapati sering ke tempatnya.

“Iya, dia sering ke tempat ini. Biasanya satu bulan sekali. Tapi belakangan ini malah makin sering.” Kata Mang Jangkung polos.

“Mang Jangkung tahu dia punya urusan apa di kota ini ?” tanya Gandrung.

“Wah, mamang mah tidak pernah tanya soal itu den Gandrung. Tapi mamang pernah mendengar pembicaraan mereka berdua tentang Pelabuhan Ratu di selatan sana.” Jawab mang Jangkung.

“Memangnya ada apa aden tanya soal Nusapati ?” Mang Jangkung mulai penasaran.

“Ah tidak mang, kami hanya pernah bertemu dengannya di Sunda Buana. Jadi kami pikir kami mau menyapanya.” Gandrung berusaha menyembunyikan alasan sebenarnya.

“Mungkin lebih baik kita menyusulnya saja” Dimas memberikan usul. Matanya menatap bergantian kepada Raji, Pafi dan Gandrung dengan isyarat. Raja yang masih sibuk mengunyah sedikit keberatan.

“Benar, kita susul saja. Kita bawa saja makan siang ini untuk bekal di jalan.” Kata Pafi.

“Lho jadi tidak makan disini aden semua ?” kata Mang Gandrung.

“Tidak mang, kami akan membawanya saja untuk bekal diperjalanan.” Jawab Gandrung. Mang Gandrung segera membungkuskan beberapa nasi yang sudah terbungkus daun pisang dan menambah beberapa lauknya. Setelah dibayar mereka pun segera meninggalkan warung.

Nusapati dengan seorang teman seperjalanannya sudah berada cukup jauh di depan. Mereka tidak memilih melewati jalan-jalan kota Rajatapura tetapi lebih memilih melewati pinggir hutan. Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung mengikuti mereka dari kejauhan. Dua ekor kuda sudah menunggu ditambatkan pada sebatang pohon. Dan dalam waktu singkat mereka berdua sudah mengendarai kuda.

“Mereka menggunakan kuda, kita tidak mungkin mengejar mereka kalau dengan jalan kaki. Kita bisa kehilangan jejak. Kita harus mencari alat lain untuk mengejar mereka.” Kata Pafi

“Kira-kira apa yang bisa kita gunakan untuk mengejar mereka ?” Dimas melihat ke sekeliling tempat.

“Kita kembali saja ke pusat kota. Disana banyak pavaratha yang bisa kita sewa.” Usul Gandrung.

“Jangan, terlalu mencolok. Nusapati bisa mengetahui kalau dirinya diikuti.” Pafi tidak setuju dengan usul Gandrung.

“Lewat laut saja, lihat ada perahu.” Raji menunjuk sebuah perahu nelayan yang sedang tidak melaut berjejer rapi di pinggir pantai. Semua setuju dengan usulan Raji. Mereka pun bersama-sama mendorong sebuah perahu ke dalam air. Begitu di atas air, Raji membuat gelombang sedang untuk mendorong perahu.

“Bagaimana kita bisa mengikuti arah mereka ?” tanya Gandrung. Dimas membuat siulan kecil, seekor burung laut terbang menghampiri dan hinggap di atas perahu. Dimas mengeluarkan suara-suara aneh mirip sekali suara burung itu. Kemudian burung itu terbang kearah yang ditunjuk oleh Dimas.

“Kau, berbicara dengan hewan ?” Gandrung keheranan. Dimas hanya nyengir mengangguk.

“Dimas berbicara dengan lebih dari duapuluh binatang.” Kata Pafi. Gandrung terlihat kagum dengan kemampuan Dimas. Dimas memandang ke langit dimana burung laut yang tadi bicara dengannya sedang melayang di langit selatan.

“Raji ikuti burung itu ! Dia mengikuti persis berada di atas Nusapati” Dimas menunjuk titik hitam kecil di angkasa di depan mereka. Raji menghentakan gelombangnya lebih besar mendorong perahu berlayar lebih cepat. Pafi yang sedari tadi duduk tidak mau diam. Bersama gandrung berusaha mengembangkan layar. Kemudian menciptakan angin dorong.

“Raji, kau bersihkan saja permukaan air laut di depan supaya lebih datar. Aku akan mendorong perahu ini dengan angin.” Raji menurut perintah Pafi. Duduknya berpindah ke depan perahu dan mengerahkan tenaganya menghalau setiap riak dan gelombang yang datang. Jalur yang dilalui menjadi rata sehingga perahu bergerak lebih cepat.

“Pafi jangan terlalu cepat, perahu ini bisa patah” kata Dimas. Pafi mengurangi kecepatan angin dan perahu bergerak lebih pelan. Gandrung mengambil kemudi di belakang berusaha dengan susah payah mempertahankan kemudi tetap lurus.

---- *** ----

Kecepatan kuda dikurangi, jalan mulai berbukit-bukit. Nusapati menarik kekang kudanya. Kawannya dengan gerakan yang sama mengikutinya. Nusapati tidak menyadari seekor burung laut terus melayang di atasnya mengikuti kemanapun dia pergi. Hutan yang begitu rapat memaksa Nusapati untuk mengambil padang-padang rumput agar kudanya tidak terlalu sering menabrak barang-barang pohon. Jalur-jalur lama tampak di atas tanah menandakan daerah itu sering dilintasi oleh pejalan kaki atau penunggang kuda.

“Warsada, kita istirahat dulu disini. Kita istirahat dulu, aku lapar sekali.” Nusapati turun dari kudanya. Warsada ikut turun dari atas kudanya lalu diikatkan di sebatang pohon.

“Aku akan buat api unggun, kau carilah buruan untuk makan kita” Warsada mengumpulkan ranting kering dan menumpuknya dekat pohon. Nusapati mengambil busur panahnya di pelana kuda dan dengan cepat menarik anak panahnya melesat ke udara. Seekor burung laut berbulu hitam jatuh menghujam bumi dengan anak panah menembus dari dada hingga ke punggung. Nusapati memunggutnya lalu melemparkannya ke pinggir api unggun.

“Kenapa kau membidik burung laut ? memangnya tidak ada ayam hutan ?” tanya Warsada.

“Burung itu sejak tadi terus menguntit kita, ada yang mengirimnya untuk memata-matai kita.” Jawab Nusapati.

“Mana mungkin ada yang memata-matai kita. Tidak ada orang yang bisa menyuruh seekor burung memata-matai orang lain.” Warsada tidak percaya dengan apa yang dikatakan Nusapati.

“Aku sangat yakin, burung laut bukanlah burung pengintai seperti elang. Dia akan terbang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dia hanya akan berputar-putar di atas permukaan laut dimana banyak ikan berada dipermukaan air. Tapi burung ini terbang berputar-putar saat kita berhenti disini.” Nusapati yakin dengan kesimpulannya.

“Baiklah, mungkin sebaiknya kita lebih waspada dan tidak menarik perhatian.” Warsada mengambil burung laut itu dan membakarnya di atas api yang sudah mulai menyala. Bau bulu terbakar begitu menyengat. Nusapati kembali merentangkan busurnya lagi sambil terus bergerak mencari ayam hutan.

---- *** ----

Perahu terus melaju dengan kecepatan sedang. Dimas terus mengamati burung laut yang membantunya untuk mengikuti gerak Nusapati. Tetapi tiba-tiba burung laut itu melayang jatuh ke bawah setelah mengeluarkan sedikit bunyi kesakitan. Dimas berusaha mengikuti dimana jatuhnya burung itu.

“Berhenti, burung laut itu jatuh. Ada sesuatu yang telah menghantamnya dari bawah. Ayo kita menepi ke pantai.”

Pafi mendorong perahu mereka menepi ke pantai. Dengan bantuan sedikit gelombang, Raji menghempaskan perahu itu ke tepian. Dimas melompat ke dalam air sesaat sebelum dasar perahu menyentuh pasir pantai. Kemudian menariknya ke daratan dengan bantuan gelombang yang diciptakan Raji. Setelah aman berada di daratan, Dimas memimpin berada di depan sementara yang lain mengikutinya. Tangan bergerak mengibas. Pohon-pohon perdu membungkuk memberikan jalan.

“Menurut perkiraanku burung itu jatuh persis di tengah lapangan itu” Dimas menunjuk lapangan rumput yang tidak begitu luas tepat di tengah-tengah rapatnya hutan. Tidak ada apapun di sana, tetapi Pafi mencium bau yang sangat dikenalnya. Api unggun.

“Lihat ! Disana ada orang.” Pafi menunjuk lurus di seberang lapangan.

“Cuma ada seorang di sana, dimana Nusapati ?” kata Raji pelan.

“Aku disini penguntit kecil” Nusapati tiba-tiba sudah berada di belakang mereka. Pafi melepaskan serangan angin berputar kearahnya. Dengan cekatan Nusapati belompat menjauh dan mendarat di atas sebuah cabang pohon. Warsada melompat berlari dari seberang lapangan. Kini Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung berada diantara kedua orang itu.

“Ah, rupanya kecoak-kecoak kecil ini punya kemampuan juga. Pantas nyali kalian cukup besar untuk menguntitku. Sekarang katakan ! siapa yang menyuruh kalian mengikutiku ?”

Dimas teringat suara yang didengarnya dekat pavaratha Ki Salakanegara beberapa waktu yang lalu. Nusapati lah orang yang berbicara di sana.

“Dia orangnya, dia yang aku dengar di dekat dermaga Ki Salakanegara. Dia yang merencanakan mengadu domba Narapati dengan Dravida.” Dimas menunjuk kearah Nusapati yang masih bertengger di cabang pohon.

“Ah kau rupanya sudah tahu kecoak kecil. Memang aku orang yang yang merencanakan semua ini. Kerusuhan di Pagan, Bangla, Serangan hama di Tarim, dan hancurnya kota-kota Dravida. Dan sebentar lagi Narapati. Ha..ha..ha…Aku tidak menyangka akan begitu mudah menghancurkan Narapati. Banjir besar, aku tinggal mempercepat prosesnya.”

“Kau tidak akan berhasil, kami sudah mencuri senjata sakti pemusnah bintang dari Asvin. Sekarang Asvin tidak bisa menyerang Narapati.” Sergah Dimas berang.

“Ha..ha..ha..anak bodoh! kecoak goblok! Aku yang memberi Asvin senjata pemusnah bintang. Yang kalian curi hanya dua dari duapuluh yang ada. Tujuhbelas yang lain telah aku kuasai sendiri. Dan aku akan menggunakannya untuk mempercepat Narapati tenggelam.” Warsada mengambil sikap menyerang. Pedang di pinggangnya dikeluarkan dari sarungnya.

“Orang sinting! Kau akan membunuh banyak orang. Memangnya salah apa Narapati sampai kau mau membunuh begitu banyak orang ?” Pafi makin berang.

“Ho..ho..ho..Narapati harus membayar semua dendamku. Aku akan membunuh semua Narapati. Narapati harus membayar semua perbuatannya kepadaku. Aku lah tahta Narapati sesungguhnya. Pemilik sah dari mahkota kerajaan Narapati yang telah dirampas seribu tahun lalu.” Nusapati menjelaskan siapa dirinya. Tidak ada yang mengerti kecuali Gandrung.

“Keturunan Raja Ambarawasta. Seribu tahun lalu Raja Ambarawasta Digulingkan oleh rakyat Narapati. Raja dan seluruh keluarganya dibuang ke sebuah pulau di tengah samudra timur. Perang saudara itu membuat bangsa Sinar Avedi pindah dari Sunda Buana.” Gandrung berbisik menjelaskan.

“Yah, akhirnya kau mengerti juga anak bodoh. Rupanya Narayala mengajarimu banyak tentang sejarah Narapati. Sekarang aku menuntut apa yang menjadi milikku. Tapi sebelumnya aku musnahkan dulu semua Narapati atas semua kesengsaraan yang dialami seluruh keluargaku.”

“Kau tidak akan pernah berhasil. Kau harus melangkahi mayat kami dulu” Raji menyerang. Tangannya menarik air dalam sebuah kubangan air. Sebentuk bola air menggumpal kemudian memecah menjadi puluhan mata tombak. Sesaat kemudian membeku menjadi es. Raji melontarkan puluhan mata tombak es kearah Nusapati. Nusapati cukup terkejut dengan serangan itu. Kedua tangannya mengibas. Sebuah perisai gaib muncul melindunginya. Puluhan mata tombak membentur dinding gaib, mendesak titik-titik pada perisai gaib kemudian memantul kembali dan jatuh hanya dua langkah di depan Nusapati.

“Ah, pengendali air. Aku tidak tahu kalau ada anak kecil pengendali air. Seranganmu cukup kejam kecoak kecil.”

“Oh kau belum lihat yang lain.” Pafi mengibaskan kedua tangannya pada arah yang berlawanan. Dua angin puyuh berputar mengejar Warsada dan Nusapati. Warsada yang tidak menduga datangnya serangan terpental jauh hingga ke tengah lapangan. Sedangkan Nusapati berusaha melompat jauh dari dari cabang pohon yang dipijaknya, berpindah ke pohon yang lain. Nusapati menyerang balik dengan serangan api. Dimas menahannya dengan perisai gaib. Lidah api hanya menjulur menyapu permukaan kosong.

“Gandrung berlindunglah di sana” Gandrung berlari berlindung di belakang batu-batuan besar. Raji menyongsong Nusapati yang telah siap menyerang lagi. Pafi menciptakan dua angin putting beliung kecil di kedua telapak tangannya. Siap menyerang Warsada yang sudah bangkit dengan pedang terhunus di tangan kanan. Warsada menyerang ke depan. Pedangnya membabat kearah pinggang. Pafi dengan ringan melayang mundur ke belakang. Dua angin putting beliung dilepaskan Pafi. Warsada sibuk menangkis kedua angin itu. Tetapi makin lama angin tersebut makin besar dan kemudian menyatu menjadi sebuah angin putting beliung yang sangat besar. Rumput-rumput tercabut dari tanah. Banyak ranting pohon patah tersedot alirannya. Warsada berusaha sekuat tenaga berlutut menancapkan pedangnya ke tanah.

“Kau akan aku antarkan kembali ke tempat asalmu!” Pafi berkata dengan keras. Warsada terlepas dari pedangnya. Tubuhnya terhisap ke dalam putaran angin raksasa itu. Pafi melempar angin itu ke udara jauh-jauh.

“Hmmm, mudah-mudahan kau mendarat di tanah, bukan di mulut hiu” Pafi mengusap-usap kedua tangannya seperti membersihkan debu yang melekat.

“Gandrung, rupanya kau disini. Ayo kita nonton saja pertunjukan kembang api itu” Pafi duduk di atas batu di sebelah Gandrung.

“Kau hebat sekali, kau buang kemana dia ?” tanya Gandrung.

“Mungkin ke samudra barat. Kalau beruntung dia ditolong nelayan Dravida.” Pafi tertawa cekikikan. Gandrung ikut tertawa dengan ulah Pafi.

Raji dan Dimas masih sibuk bertarung dengan Nusapati. Beberapa lidah api membakar pohon-pohon tanpa ampun. Raji dengan cepat memadamkannya. Berkali-kali Nusapati melontarkan lidah api. Dimas dan Raji belum pernah mendapat lawan pengendali api. Mereka tidak pernah melihat bagaimana seorang pengendali api menciptakan serangannya. Dimas dan Raji cukup kewalahan menahan serangan-serangannya. Nusapati terlihat sudah sangat berpengalaman dalam menggunakan kekuatannya. Serangan Raji sangat tergantung dengan jumlah air yang tersedia. Di dalam hutan itu jarang sekali air. Menarik dari laut yang cukup jauh atau dari dalam tanah memerlukan tenaga yang sangat besar. Lagi pula dirinya terlalu sibuk menangkis serangan juga memadamkan api yang mengenai pohon-pohon. Dimas juga masih sulit mengunci Nusapati dengan ikatan-ikatan ranting-ranting pohon. Semua ranting langsung hangus menjadi arang setiap kali berusaha mengikatnya. Nusapati tidak pernah turun sekalipun ke tanah. Hal ini membuat Dimas tidak bisa menggunakan bumi sebagai tempat untuk menjebaknya. Sepertinya Nusapati tahu kekuatan Dimas berasal dari bumi. Pafi mulai gerah melihat pertempuran yang hanya berputar-putar saja. Dalam sekejap tubuhnya sudah melayang masuk ke dalam arena pertempuran. Angin putting beliung yang dibuatnya membuat Nusapati kehilangan keseimbangan. Pafi terus mendorong Nusapati dengan badai. Sedangkan Raji terus menyerangnya dengan lidah-lidah air. Kecepatan Nusapati mulai berkurang. Serangan-serangannya mulai berkurang jumlahnya.

Nusapati mulai merasakan dirinya terdesak. Dengan cepat sebuah serangan besar dilakukan. Api menjalar ke seluruh hutan. Angin ciptaan Pafi malah membantu api semakin besar.

“Pafi hentikan, seranganmu malah membuat api ini semakin besar.” Kata Raji yang kewalahan memadamkan api dengan air yang terbatas. Asap mengepul memenuhi seluruh hutan. Pandangan menjadi sangat terbatas. Kesempatan itu digunakan Nusapati untuk meloloskan diri.

“Pafi dorong asap-asap ini ke angkasa.” Pinta Dimas. Pafi memutar anginnya menjadi angin putting beliung yang sangat besar. Menghisap semua yang terbakar dan asap ke angkasa. Dalam sekejap hanya tersisa tonggak-tonggak pohon yang hangus menghitam. Kesempatan terakhir Raji mengguyurnya dengan air yang tersisa.

“Nusapati kabur!” Gandrung menghampiri Dimas.

“Dia kabur dengan jalan kaki. Aku telah mengusir kudanya tadi.” Kata Pafi.

“Ayo kita kejar dia” Raji berlari kearah Nusapati pergi. Yang lain berlari mengikuti Raji. Pafi sesekali melayangkan dirinya ke udara melewati puncak pohon mencari arah kaburnya Nusapati.

“Dia ada di sana, tidak terlalu jauh dari kita.” Pafi menunjuk ke timur.

Raji terus berlari mengejar. Dimas membuka jalan dengan membuat semua pohon menyebar memberi jalan. Gandrung tampak sudah sangat kelelahan mengikuti lari Raji dan Dimas yang begitu cepat. Tak lama kemudian mereka sudah bisa melihat bayangan Nusapati berada di depan mereka.

“Kita harus menangkapnya. Hanya dia yang tahu dimana sisa senjata sakti pemusnah bintang diletakan.” Dimas agak khawatir dengan keberadaan senjata pemusnah itu. Tidak lama kemudian mereka tiba di sebuah lapangan dimana dua buah Vailixi kelas penggempur jarak jauh. Dimas melihat Nusapati memasuki pintu wahana itu. Wahana yang sama persis dengan yang dicurinya dari Asvin beberapa waktu yang lalu.

“Dia akan membawa Vailixi itu terbang. Ayo kita cegah dia. Jangan sampai Vailixi itu mengudara. Dunia akan hancur kalau kita terlambat.” Pafi berteriak mengejar. Tetapi telat. Nusapati telah menutup pintu wahana itu. Pafi melancarkan serangan bertubi-tubi kearah wahana itu. Tidak satupun kerusakan terjadi. Bahkan wahana itu tidak bergerak sama sekali. Sebuah selubung pelindung menahan setiap serangan.

“Percuma, kita harus menjatuhkannya dari udara.” Kata Dimas

“Dengan apa ?” tanya Pafi

“Dengan itu” Raji menunjuk Vailixi yang lain.

“Ayo kita ke sana” Dimas berlari memasuki pintu Vailixi itu. Yang lain ikut masuk. Vailixi Nusapati telah mengudara.

“Wahana ini mirip dengan yang aku kemudikan dari Asvin dulu. Aku bisa menjalankannya.” Dimas menekan tombol-tombol di atas papan pengendali. Beberapa saat kemudian Vailixi itu menyala.

“Pafi kau ambil tempat pengendali arah. Raji dan Gandrung ambil senjata penembak.” Dimas membagi tugas masing-masing. “Lihatlah layar kalian masing-masing. Beritahu aku status kalian.”

“Vailixi Nusapati bergerak ke barat laut. Kalau menurutnya benar masih ada tujuhbelas senjata sakti pemusnah bintang. Maka dia membawa tujuh senjata itu. sepuluhpuluh yang lain berada di Vailixi ini.” Pafi membaca layar pengendalinya.

“Penembak bintang merah siap” Raji memegang tuas pengendali senjata duduk di belakang Dimas.

“Penembak bintang biru siap” Gandrung juga memegang tuas pengendali senjata duduk di belakang Pafi. Layar pengendalinya memberikan pemandangan di luar wahana. Dua Lingkaran merah dan kuning bergerak saat tuas digerakan.

“Atur kedua lingkaran itu hingga menyatu dengan tepat, barulah kalian tembakan senjata kalian.” Dimas mengingatkan Raji dan Gandrung.

“Senjata sakti pemusnah bintang terkunci. Ayo kejar penghianat itu” Pafi memberikan komando. Suaranya begitu lantang dan galak.

Dimas mengendalikan tuasnya. Vailixi itu terbang dengan muda kemudian melayang dengan cepat mengejar Nusapati. Pengalamannya ke negeri Asvin memberinya pengalaman dalam mengendalikan wahana terbang. Kejar-mengejar terjadi. Nusapati mengarahkan Vailixinya menuju kota Rajatapura.

“Kita harus menghalaunya dari Narapati. Dia tidak boleh ke kota-kota Narapati.” Gandrung terlihat cemas sekali.

“Aku akan memaksanya bergerak ke barat.” Dimas menambah kecepatan mengambil jalur melambung lebih ke utara. Vailixi Nusapati bergerak lurus menuju Rajatapura. Tembakan demi tembakan sinar biru dan merah di lepaskan kearah Vailixi Nusapati. Vailixi itu mengambil gerakan menghindar ke kiri. Semua tembakan terus diarahkan ke lambung kanan wahana. Memaksa Nusapati mengarahkan kemudinya bergerak menghindar ke kiri hingga tidak sadar arahnya telah bergeser ke barat. Tiba-tiba Nusapati mengubah arah Vailixinya menuju selatan. Dengan kecepatan tinggi Vailixi Nusapati melesat lurus ke selatan. Dimas mengikutinya dengan kecepatan yang sama.

“Kenapa dia bergerak ke selatan ?” Dimas bertanya pada Pafi.

“Pangkalan Narapati di Rajatapura rupanya menangkap kehadiran kita. Lima pavaratha sedang meluncur kearah kita. Mungkin Nusapati tidak mau berhadapan dengan mereka.” Pafi menjelaskan isi layarnya.

“Pegangan teman-teman” Dimas menarik tuasnya kuat-kuat membuat semua yang duduk terhentak ke belakang oleh peningkatan kecepatan. Langkah seribu juga harus diambilnya. Karena Narapati akan menyangkanya penyusup. Vailixi yang dikendalikannya bisa ditembak jatuh bersama sepuluh senjata pemusnah di dalamnya.

“Mau kemana dia ?” tanya Raji.

“Kutub bumi selatan, dia akan mencairkan es di kutub-kutub bumi” Dimas menduga dengan pikiran terburuknya. Dirinya mulai khawatir mereka tidak bisa mencegahnya. Vailixi terus melesat cepat. Menanjak makin tinggi di atas awan. Raji dan Gandrung terus menembakan senjatanya kearah Vailixi Nusapati. Jarak yang cukup jauh memberikan dampak yang kecil. Nusapati tidak lagi menanggapi serangan. Dalam pikirannya hanyalah membawa wahana itu secepat mungkin tiba di kutub bumi selatan. Pavaratha Narapati tidak lagi mengejar. Mereka sudah berada di luar wilayah udara Narapati. Beberapa waktu kemudian sebuah gugusan putih di tengah lautan membatasi warna biru. Benua es telah tampak. Nusapati menurunkan ketinggian Vailixinya.

“Lihat itu! Benua es.” Pafi menunjuk hadapan mereka. Dinding putih panjang yang langsung berbatasan dengan laut. Cuaca begitu cerah. Tidak ada awan di atas daratan putih di bawah mereka.

“Kalian tidak akan bisa menghalangiku ! Aku telah menjatuhkan satu senjata sakti pemusnah bintang. ” Suara Nusapati muncul dari meja pengendali Pafi. Dimas tidak menduga Nusapati bertindak secepat itu. Tidak pernah terbayangkan apapun yang bakal terjadi setelah ini. Dalam beberapa saat kemudian Sebuah sinar putih meletup di atas dataran putih. Seperti semua api dari bintang-bintang dihidupkan bersama, melontarkan asap yang bergulung-gulung ke angkasa. Dinding-dinding es runtuh sepanjang mata memandang. Memenuhi lautan memicu sebuah gelombang yang sangat besar merambat ke utara. Sesaat kemudian sebagian daratan putih itu amblas ke dalam air dan memicu lagi gelombang kedua yang jauh lebih besar.

Sejenak suasana hening. Dimas, Pafi, Raji dan Gandrung hanya terpaku melihat dari ketinggian dampak yang ditimbulkan dari senjata sakti pemusnah bintang. Tidak terlintas apapun dalam benak mereka apa yang akan terjadi setelah ini. Semua hanya berharap mereka masih bisa mencegahnya lagi. Dimas tersadar. Tangannya mengarahkan kemudinya mengejar Nusapati yang telah kabur meninggalkan mereka. Pafi terus memantau layarnya. Vailixi Nusapati tampak berkedip-kedip di atas layarnya. Bergerak terus ke barat.

“Kita harus menembak jatuh Nusapati.” Kata Raji.

“Kita tidak bisa menembaknya sembarangan. Dia masih membawa enam senjata pemusnah itu.” Pafi tidak setuju.

“Jangan menembaknya saat dia berada di atas daratan. Aku akan menggiringnya ke tengah laut. Mudah-mudahan kalaupun dia kita tembak jatuh, semua muatannya akan tenggelam bersamanya di dasar laut.” Dimas mengatakan gagasannya.

Satu buah senjata pemusnah lagi telah di jatuhkan. Dampak yang sama terjadi. Gelombang raksasa menggulung di permukaan laut selatan bergerak ke utara. Ketegangan di ruang kendali makin tinggi. Dimas berusaha keras mengejar Nusapati.

“Aku akan mencegatnya. Bersiaplah melepaskan tembakan.” Dimas mengambil jalur melengkung.

“Kita akan persis mencegatnya dalam waktu 15 sastih.” Pafi menghitung jarak dan kecepatan kedua Vailixi.

Jarak semakin dekat. Raji dan Gandrung melepaskan tembakan beruntun. Lapisan pelindung Vailixi Nusapati mulai memudar. Beberapa tembakan mengenai lambung dan sayapnya. Asap mengepul keluar dari wahana itu. Dengan cepat wahana itu meluncur turun ke bawah kehilangan daya angkatnya.

“Dia akan mengarahkan jatuhnya ke daratan es di depan. Pafi, gunakan badai untuk menghambat kecepatannya. Raji bersiaplah menangkapnya dengan air dan dorong dia ke dalam laut.” Dimas mengejar wahana yang meluncur jatuh bebas ke atas permukaan es. Pafi melepaskan semua kendalinya. Tangannya menggerakan angin di bawah Vailixi yang jatuh.

“Dimas bawa lebih dekat Vailixi ini. Angin yang aku kumpulkan tidak terlalu kuat. Jaraknya terlalu jauh.” Dimas menambah kecepatan meluncur turun.

“Hahaha kalian tidak akan berhasil. Kalian akan hancur bersamaku !” suara Nusapati terdengar di meja kendali Pafi. Pafi berhasil memutar anginnya menjadi angin putting beliung. Mukanya menegang. Seluruh urat di wajahnya membiru. Usaha Pafi sangat menentukan. Yang lain berharap wahana itu tidak jatuh di atas daratan es. Dimas melihat usaha Pafi kali ini adalah yang paling keras yang pernah dilihatnya. Vailixi itu meluncur lebih lambat dan kemudian digiring ke tengah lautan.

“Dia akan memicu sisa senjata pemusnah itu dengan tenaga apinya. Aku harus mencegahnya.” Dalam keadaan sedang mengemudikan Vailixi yang terbang menukik ke bawah Dimas melakukan konsentrasi. Dimas berusaha memasuki pikiran Nusapati. Tetapi jarak mereka terlalu jauh, usaha Dimas menguasai pikiran Nusapati putus sambung. Kedua Vailixi terus menukik tajam dan kini bergeser ke tengah laut. Menjauh dari benua es. Beberapa saat sebelum keduanya jatuh ke dalam laut, Pafi melepaskannya kemudian Raji mengangkat gelombang tinggi menangkap Vailixi Nusapati. Dimas mengambil kembali kendalinya dan mempertahankan Vailixi itu tetap mengambang di udara. Sementara Vailixi Nusapati terus tenggelam ke dasar laut.

Sejenak mereka berempat mengamati Nusapati tenggelam bersama Vailixinya. Darah mengalir keluar dari hidung Pafi. Raji menghampirinya kemudian memegang kedua kening Pafi. Darah dari hidung Pafi segera berhenti.

“Terima kasih Raji” kata Pafi.

“Kau menahannya terlalu berat, itu bisa membahayakan nyawamu.”

“Ya, kau benar Raji. Tapi ini lebih dari penting. Jutaan nyawa akan terancam kalau kita tidak menghentikannya.” Pafi mengusap sisa darah yang menetes di bawah hidungnya.

“Apa yang terjadi sekarang ? begitu banyak es yang mencair dan masuk ke dalam lautan. Kita harus kembali memperingatkan penduduk.” Kata Gandrung.

“Ya tapi kita juga harus mengamankan sisa dari senjata ini di tempat yang aman.” Kata Pafi.

“Kita berbagi tugas. Kalian bertiga akan aku antar ke kota Rajatapura untuk memberitahu adipati Rajatapura tentang bahaya gelombang yang sedang merambat menuju kota. Aku tahu tempat paling aman untuk menyimpan Vailixi ini. Aku akan membawa Vailixi ini ke Kerajaan Selatan.” Dimas membagi tugas mereka berempat. Semua setuju. Dimas mengarahkan Vailixi ke timur laut dimana Rajatapura berada. Dengan kecepatan paling tinggi semua berharap dapat mendahului laju rambat gelombang tinggi yang sedang menuju ke sana.

---- *** ----

Kepanikan luar biasa melanda seluruh kota Rajatapura. Seluruh penduduk dipindahkan dari pesisir pantai. Seluruh wilayah pantai di selatan sudah habis tersapu gelombang. Banyak penduduk yang tidak sempat menyelamatkan diri. Rajatapura tinggal menunggu hitungan beberapa saat saja. Gelombang besar dengan kecepatan tinggi meluncur menghantam apa saja yang dilaluinya. Daratan di seluruh pantai selatan terendam air hingga jauh ke dalam daratan. Raji, Pafi dan Gandrung telah memperingatkan Adipati Rajatapura. Gerbang pelabuhan ditutup mencegah air masuk kota Sunda Buana melalui sungai sunda besar selatan.

Beberapa saat kemudian sebuah gelombang besar mengempas ke dalam daratan disusul gelombang kedua yang jauh lebih besar. Mendorong semua yang berada di atasnya. Pavaratha induk Ki Salakanagara telah lebih dulu menghindar dengan menyelam ke dalam laut. Tetapi perahu kehidupan mengalami nasib yang buruk. Perahu yang hampir jadi itu terangkat dan masuk ke tengah daratan dan terus terdorong hingga masuk ke dalam kota Rajatapura. Seluruh kota terendam hingga setinggi kepala orang dewasa. Batang-batang pohon, gedek-gedek sisa rumah yang tersapu gelombang memenuhi seluruh kota. Banyak orang-orang yang belum sempat menyelamatkan diri harus berjuang bertahan bertahan berada di permukaan. Tapi dorongan air yang bercampur sampah terlalu kuat. Kebanyakan mereka yang tersapu ombak akhirnya pingsan dan mati terbentur benda-benda yang tergulung bersama mereka. Suasana kota begitu mengerikan. Air laut yang sudah bercampur dengan lumpur coklat pekat memenuhi seluruh sudut kota. Kuil Rajatapura dipenuhi ribuan orang yang berusaha menyelamatkan diri.

Raji, Pafi dan Gandrung telah lebih dulu menyelamatkan diri setelah memberikan peringatan yang cukup untuk Adipati Rajatapura. Peringatan mereka hanya sebuah penguatan. Karena Pavaratha Ki Salakanagara telah mengetahui kedatangan gelombang dan memberikan kabar sebelumnya. Mereka bertiga sudah berada di ruang tukang mau tahu menunggu kedatangan Dimas. Cemas dan resah mewarnai seluruh ruangan. Tak lama kemudian semua bisa bernafas lega setelah Dimas tiba dengan keadaan baik.

“Kau tidak apa-apa Dimas ?” tanya Pafi

“Tidak, aku sudah berhasil mengantarkannya ke Kerajaan Selatan. Bagaimana dengan Rajatapura ?” tanya Dimas seperti ketinggalan berita. Tidak ada yang menjawab. Pafi langsung mengeluarkan air mata tidak kuasa menahan kesedihannya. Mata Raji nanar menahan tangis.

“Hancur, seluruh kota terendam. Yang paling parah menurut berita yang kami dengar dari pertemuan di balairung keraton adalah seluruh pantai selatan. Garis pantai maju ke daratan hingga sejauh puluhan tombak.” Gandrung menjelaskan semua yang telah terjadi sejak gelombang tinggi menghantam seluruh kota di pantai selatan dan barat. Semua terdiam. Seakan sesak dada mendorong semua isinya. Rasa sakit dan tidak nyaman di perut mendorong air mata mengalir tanpa terasa. Kesedihan yang luar biasa. Dimas, Raji, Pafi dan Gandrung hanya bisa mengeluarkan air mata. Rasa sesal tidak berhasil mencegah semua bencana itu terjadi. Ada tekad baru kemudian muncul. Ada hal yang jauh lebih besar lagi yang harus mereka lakukan. Semua yang baru saja terjadi hanyalah latihan kecil dari bencana terbesar. Bencana yang tidak hanya mengancam kelangsungan hidup Narapati saja, tetapi seluruh umat manusia dan mahluk yang tinggal di atas bumi. Tekad baru dikuatkan untuk segera mendapatkan batu satuasra. Mereka tidak mau gagal lagi.